8. Envisage

17K 1.1K 6
                                    

•••

Gavi

Aku melirik jam tanganku yang kini menunjukan pukul 10.15, rupanya sudah hampir selesai. Aku pun segera melepas konektor dari laptop yang tengah menampilkan PPT "Karakteristik Matematika".

"Oke, cukup sekian dari saya. Pekan depan kita akan bahas materi selanjutnya. Terima kasih."

Sorak gembira dari para mahasiswaku perlahan terdengar. Disusul suara kursi yang saling berdecit karena orang yang yang mendudukinya hendak berlalu. Mereka beramai-ramai mengucapkan terima kasih padaku.

Setelah beres-beres, aku memutuskan untuk kembali ke ruanganku. Diperjalanan, aku beberapa kali disapa oleh teman sesama dosen atau para staff kampus yang kukenal. Memang aku belum sampai lima tahun mengajar di kampus ini, tapi sudah banyak orang yang mengenaliku.

"Pak Gavi, baru selesai mengajar ya, Pak?" sapa seorang bapak-bapak yang juga teman sesama dosenku, Pak Galuh.

Aku tersenyum tipis seraya mengangguk. Kemudian Pak Galuh pun berlalu melanjutkan kegiatannya. Tidak dipungkiri, aku merasa senang bekerja sebagai dosen. Namun, terkadang juga ada rasa jenuh ketika aku menjalankan rutinitasku ini. Entahlah, aku hanya merasa tidak punya semangat.

Begitu duduk dikursi ruangan, ponselku bergetar. Ada pesan masuk dari teman-teman alumni kuliah. Sepertinya ada berita heboh yang terjadi. Tidak biasanya room chatnya seramai ini.

Namun, karena aku masih sibuk memeriksa tugas-tugas mahasiswa, aku pun urung membacanya. Biarlah nanti ketika senggang saja.

Tidak sampai 5 menit, ada telepon dari teman lamaku. Sebenarnya dulu kami tidak terlalu dekat, jadi aku sedikit penasaran kenapa tiba-tiba dia menghubungiku. "Halo?"

"Oh, Gavi?"

"Iya, kenapa kamu telepon?" tanyaku datar. Temanku yang bernama Erik itu pun segera menyahut, "Kamu belum lihat grup apa?"

Aku diam saja. Mataku terus fokus pada lembar mahasiswa meski tengah menerima telepon.

"Ck, dasar. Temen kamu itu si Cakra kecelakaan! Dia di rumah sakit sekarang."

Aku yang awalnya menunduk, segera mendongak. Kuletakan pulpen yang tengah aku gunakan dan fokus pada telepon Erik. Cakra adalah teman baikku dulu. Dia itu sosok social butterfly yang sesungguhnya. Sedangkan aku malah hanya punya sedikit teman. Meski kami punya latar belakang yang berbeda, tapi kami cocok satu sama lain. Cakra selalu mengajakku bicara padahal dia punya banyak teman.

Aku ingat betul kegigihannya mencari tempat kerja sampingan dulu. Ayahnya tidak mengizinkan Cakra berkuliah, makanya dia harus mencari uang sendiri untuk biaya kuliahnya.

Kami berteman cukup lama. Sekarang pun masih sama, tapi sudah jarang menyapa. Aku kaget sekali mendengar berita ini karena setahuku Cakra tidak mempunyai siapapun setelah kematian orang tuanya satu tahun yang lalu.

"Terus Cakra di mana sekarang?"

"Di rumah sakit Kasih Bunda. Kamu mau jenguk dia? Maaf, kayaknya aku sama temen-temen nggak bisa nungguin kamu soalnya kami udah mau sampe di rumah sakitnya—"

Aku yang sudah menutup telepon, buru-buru menyelesaikan pekerjaanku yang tadi tertunda. Niatnya aku ingin menjenguk Cakra setelah ini. Apalagi rumah sakitnya sangat dekat dengan apartmentku, jadi tidak perlu berbalik arah lagi untuk pulang.

•••

Aku sudah sampai di rumah sakit saat sore hari. Teman-temanku yang lain pasti sudah pulang. Tidak masalah, toh aku juga malas untuk bertegur sapa dengan mereka.

The Lost EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang