7. Twitch

16.8K 1.1K 1
                                    

•••

Shiren

Pelan-pelan aku membuka mata dan merasakan kepalaku teramat pusing. Badanku pun pegal-pegal. Butuh waktu beberapa saat bagiku untuk mencermati situasi ini.

"Eh, Pak Kukuh, ini Mbaknya udah sadar."

Aku langsung mengernyit bingung mendengar suara asing itu. Selang beberapa detik, seorang bapak-bapak yang tidak kukenal mendekat padaku.

"Alhamdulillah. Mbak, bisa dengar saya?"

Aku memejamkan mata sekejap. Kepalaku bertambah pusing. Namun, setelah itu aku teringat bahwa aku baru saja mengalami kecelakaan. Tubuhku langsung menegang. Seketika itu aku teringat akan Bumi. Bagaimana keadaan anakku? Apa dia terluka?

"Iya," ujarku lirih. "Bumi..."

"Alhamdulillah banget Mbaknya nggak luka parah. Lain kali hati-hati, ya, Mbak." Bapak-bapak tadi tersenyum padaku. "Gimana bisa nabrak pohon, Mbak? Apa gara-gara ngantuk?"

Aku menggeleng, tidak benar-benar mendengarkan perkataan bapak itu. Hanya ada satu hal yang membuatku khawatir. "Anak saya... gimana keadaan anak saya?"

Aku bertanya-tanya dalam hati, kenapa mereka semua justru saling memandang satu sama lain dengan ekspresi bingung. Memang apa yang terjadi dengan Bum?

Salah satu ibu-ibu yang sepertinya ikut mengantarku, akhirnya membuka suara. "Anak yang mana ya, Mbak?"

Detik itu juga, aku tidak bohong, jantungku berdebar satu kali lebih cepat. Rasa panik seketika menjalar disekujur tubuhku. "Anak saya, yang... yang ikut saya di motor. Dia juga ikut jatuh."

"Loh, Mbaknya sendirian kok." Ibu itu memiringkan kepalanya ke kanan. "Nggak ada siapa-siapa waktu saya nolongin Mbaknya."

"Apa?" Aku segera bangkit. "Tapi- tapi saya bawa anak saya tadi. Dia masih balita. Tubuhnya agak besar. Pipinya chubby. Apa kalian nggak liat?"

Mereka semua menggeleng. Sepertinya memang tidak ada satupun orang yang mengetahui keberadaan Bum. Aku pun tidak membuang waktu lagi untuk turun dari ranjang dan bergegas mencari anakku.

"Tolong anterin saya ke lokasi kecelakaan tadi. Tolong." Aku menyatukan kedua tanganku dengan gemetar. Salah satu bapak-bapak pun dengan ragu mengangguk dan segera mengantarku dengan mobilnya.

Sampai dilokasi kejadian, aku terperangah. Tidak ada siapapun di sana. Entah ini karena langit masih gelap sehingga aku tidak melihat keberadaan Bum atau memang tidak ada orang di sana.

"Bum!" seruku. Aku mencarinya kemanapun. Ke semak-semak, di teras-teras rumah warga, bahkan sampai hendak masuk ke area gelap disekitar situ. Aku benar-benar kalang kabut mencari Bum.

Tanganku terus berada disamping mulut sembari berteriak,"Bumi!"

Meskipun aku berlarian ke sana kemari, tidak ada tanda-tanda keberadaan putraku. Kakiku melangkah sangat jauh tak tentu arah dengan air mata yang mulai meluncur deras. Hingga dini hari akhirnya tiba. Namun, Bum masih belum ditemukan. Aku kesakitan, lelah, frustasi, dan bingung.

Warga setempat tidak ketinggalan menyaksikan aksiku. Sayangnya, tidak ada satu pun dari mereka yang mau membantuku mencari Bum. Entah dimana rasa empati yang mereka miliki.

"Ya, Allah. Kasian banget," komentar salah satu ibu-ibu yang masih mengenakan mukena.

Tangisku semakin menjadi. Akhirnya karena tidak menemukan Bum dimanapun, aku lantas menelepon Mbak Alya. Hanya dia satu-satunya orang yang bisa aku mintai tolong.

Teleponku sempat lama tidak diangkat hingga akhirnya suara Mbak Alya muncul. Sepertinya dia baru saja bangun tidur. Aku jadi sedikit tidak enak karena menganggunya. "Halo, Mbak?"

The Lost EarthWhere stories live. Discover now