16. Put the Finger On

17.2K 1K 23
                                    

•••

Gavi

"Kalau bisa jangan angkat yang berat-berat dulu, ya, Pak," ujar dokter memberi saran.

Aku hanya bergumam malas. Pagi ini aku kembali ke rumah sakit untuk melepaskan perban yang menempel di lenganku. Ini adalah hari ke 4 sejak kejadian di tempat wisata itu. Sayangnya, hingga kini pun aku masih belum menemukan jejak penculik Bumi. Tidak ada CCTV di sekitar lokasi tempat wisata, aku pun tidak bisa mengira apakah Shiren hanya berhalusinasi atau memang sebenarnya ada Bumi ketika itu.

"Makasih, Dok." Seusai melepas perban, aku berjalan keluar rumah sakit. Kali ini aku memang sengaja tidak memberitahu Shiren tentang pelepasan perban ini. Aku ingin wanita itu berisitirahat untuk sementara waktu. Apalagi terakhir kali kami bertemu, keadaan tidak berlangsung baik.

Papa dan mama sepertinya masih sangat terkejut pada kenyataan bahwa mereka telah memiliki cucu. Sampai sekarang mereka tidak menghubungiku lagi. Entah karena marah atau merasa bersalah. Namun, disisi lain aku juga bersyukur setidaknya sementara waktu mereka tidak menggangu Shiren.

Jariku mengambil ponsel yang kusimpan di saku celana. Namun, berbarengan dengan itu, kunci laci kampusku ikut-ikutan terjatuh dari saku. Akhirnya setelah kuambil, kunci itu aku jadikan cincin untuk sementara karena sekarang aku harus memesan taksi online.

Ketika tengah sibuk mengutakatik ponsel, seseorang datang menyapaku. "Eh, Pak Gavi! Lagi apa di sini, Pak?"

Ternyata itu Dion, salah satu mahasiswaku. "Eh, Dion, ya?" Pria jangkung itu meminta tanganku untuk disalimi. "Saya baru selesai periksa," jawabku apa adanya.

"Ah, iya. Saya sempet denger katanya Bapak lagi sakit, makanya nggak masuk kelas. Udah sembuh sekarang, Pak?"

Aku mengangguk ringan. "Kamu sakit juga?"

"Nggak, Pak. Ini kebetulan pacar saya sakit." Pria itu melirihkan kata-katanya diakhir sembari menggaruk kepalanya. Mungkin dia sedikit canggung dan malu.

"Oh, iya. Semoga cepet sembuh." Tanganku menepuk-nepuk punggungnya. "Omong-omong, kamu kelas A, 'kan? Yang pekan kemarin saya kasih tugas kelompok, 'kan?"

"Eee, iya, Pak. Kelompok saya sudah selesai, kok." Dion tersenyum paksa.

"Berarti pekan depan siap dipresentasikan dong, ya? Biar materinya selesai semua sebelum UAS."

"O-oh, bisa, Pak. Bisa." Dion kini menatapku getir. Beberapa kali dia kedapatan menengguk ludahnya cemas.

Kekehanku lolos melihat wajah gugupnya. "Oke, pokoknya semua kelompok harus sudah siap, ya, besok." Aku menepuk ringan bahu pemuda yang kira-kira usianya 20 tahun itu.

"Iya, Pak. Kamu usahakan."

"Kalau gitu saya pamit dulu. Kamu hati-hati pulangnya, Dion."

Dion menunduk sopan menungguku melangkah meninggalkannya. Sampai di lobby rumah sakit, aku kemudian kembali fokus pada ponselku. Ck, kalau saja tanganku baik-baik saja pasti sekarang-

"Boya!"

Tiba-tiba saja seorang bocah berjaket pink mendekat dan memainkan gantungan kunci lokerku yang masih tersemat di jari. Well, gantungan kunciku memang bergambar globe. Seruannya hampir membuat jantungku copot karena terkejut.

Aku memutuskan untuk berjongkok dan memberinya gantungan kunciku. Bocah itu segera mengadahkan tangannya seolah tahu akan kuberi bola mini. Jika dilihat-lihat bocah ini imut juga. Dia sangat mini dalam balutan jaket pink kebesaran dan peci rajut kecil.

Bibirku yang awalnya hendak menyapa anak itu tertahan kala melihat wajahnya dengan seksama. Aku perhatikan anak itu lamat-lamat. Wajahnya, tubuhnya, serta pipinya. Pupil mataku melebar seiring aku yang memindai keseluruhan tubuh mungilnya dari atas sampai bawah. Namun, belum sempat aku mengatakan sesuatu. Seseorang terlebih dahulu muncul dan menarik bocah mini itu.

Eitsss! Sekarang kamu bisa baca cerita ini sambil dukung penulis di platform Karya Karsa lho!

Dengan 2000 rupiah atau 20 kakoin aja. Link ada di bio!

Terima kasih, ya.

Lin. 🤍

The Lost EarthWhere stories live. Discover now