4. Turn The Scales

17.4K 1.1K 21
                                    

•••

Gavi

Menceraikan Shiren?

Suasana begitu hening usai papa mengatakan itu. Aku melirik Shiren yang terlihat terkejut. Perintah papa memang sesuai rencanaku dahulu. Tidak dipungkiri, aku dulu juga berencana menceraikan Shiren. Namun, entah kenapa sekarang aku malah tidak suka dengan rencana itu.

Tiba-tiba aku teringat dengan semua ucapan Shiren. Ketika dia meminta maaf atas wasiat ayahnya, ketika dia berterima kasih padaku yang mau mengurusnya. Seketika aku merasa bersalah. Aku lah yang telah merenggut segalanya dari Shiren. Aku membohonginya. Jika aku tidak menabrak ayahnya hari itu, mungkin sekarang dia tidak akan menderita seperti ini.

Kalau aku menceraikan Shiren, maka dia pasti akan sendirian. Dia akan menderita lagi dan mungkin akan lebih parah. Membayangkan wanita mungil sepertinya hidup sendirian, membuatku merasa sesak. Aku merasa harus melindunginya. Harus menjaganya. Sejujurnya aku juga tidak mengerti mengapa perasaan aneh ini tiba-tiba mendatangiku.

Meski gemetar tetap kurasakan kala berhadapan dengan papa, aku memberanikan diri berkata, "Aku nggak bisa."

"Gav!" Papa meneriakiku. "Kamu tahu nggak kalau dampak pernikahan diam-diam ini serius banget buat karir Papa?!"

Tanganku mengepal erat. Aku takut dan cemas. Namun, aku juga tidak bisa menuruti keinginan papa. Terlebih aku juga merasa tidak enak pada Shiren yang mendengar semua ini. Entah apa yang perempuan itu rasakan sekarang.

"Pokoknya Papa minta cepet ceraiin gadis itu. Papa nggak mau tahu. Jangan sampai ada yang tahu tentang semua ini." Papa mengembuskan napasnya kesal. "Pernikahan kamu ini bisa merusak citra Papa sebagai anggota DPRD."

Walaupun dengan jantung yang berdebar-debar, aku tetap berusaha menolak keinginan papa. "Aku nggak mau, Pa."

Mataku terpejam. Aku sangat cemas dengan reaksi papa. Beliau adalah orang yang keras. Bahkan terkadang beliau menggunakan cara ekstrem untuk mendidik anaknya.

Papa tertawa hambar. Sudah aku duga. Kali ini pun aku tidak akan selamat dari amukannya. "Sini kamu!"

Mendengar itu, mataku langsung memejam erat. Bahkan belum sempat kakiku melangkah padanya, papa sudah lebih dulu memukul pipiku. Tubuhku sampai jatuh tersungkur.

"Papa!" Mama berteriak ketakutan. Sementara Shiren dengan sigap hendak menolongku.

Aku pun menggeleng. "Kamu ke kamar," suruhku pada Shiren. Dia bisa saja ikut jadi sasaran kemarahan papa.

"Tapi, aku..."

"Ke kamar. Sekarang."

Tanpa aku sadari, papa tiba-tiba memukul pipiku lagi. Aku menggeram kesakitan. Namun, disaat yang sama aku lega karena Shiren menuruti kata-kataku untuk pergi ke kamar.

Papa semakin menggila dengan menonjok semua bagian tubuhku. Beliau bahkan menginjak punggungku tanpa perasaan. Aku kesakitan, tapi ini belum seberapa dibanding dengan kekerasan fisik yang selama ini beliau lakukan padaku jika aku tidak menurutinya.

"Ceraikan dia, Gavi!" Papa terengah-engah.

Aku yang tengah kesakitan tidak bisa merespon perintahnya. Jika bisa, sebenarnya aku ingin sekali menonjoknya juga. Namun, dia tetap saja orang tuaku.

Shit. Dunia memang tidak adil.

"Udah nurut aja, Gav!" Mama yang histeris berusaha keras menghalau papa yang mau menganiaya aku lagi.

"Ma..."

"Nurut aja, Gav. Kamu tahu kan kalau Papa kamu mau mencalonkan diri lagi? Mama mohon, kali ini turuti Papa kamu."

The Lost EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang