3. Fenceless

17.5K 1.1K 17
                                    

•••

Shiren

Hari ini mendung. Langitnya hitam dan samar-samar rintik hujan mulai membasahi bumi. Suasananya mengingatkanku dengan hari dimana ibuku pergi. Rasanya tenggorokanku kering, dadaku sesak. Padahal waktu itu hujan deras. Musim yang paling aku suka.

Jangan bandingkan kondisiku saat ini dengan saat itu. Karena keduanya sama-sama buruk. Bahkan kalau boleh bilang, aku sudah tidak punya tujuan hidup. Empat pekan sejak pernikahan, aku sangat jarang keluar apartment ini.

Gavi membuatku terkurung. Belum usai kesedihan karena kehilangan papa, kini masalah lain juga harus menimpaku. Jujur saja, aku ragu pernikahan ini akan bertahan lama. Dilihat dari faktor apapun, aku yakin suamiku itu tidak sudi menampungku lebih lama lagi.

Pria itu tidak pernah mengenalkan aku pada keluarganya. Kalau begini, aku yakin orang-orang pasti mengiranya masih lajang. Bagaimana tidak? Gavi menjadikan aku layaknya istri simpanan. Dia datang hanya saat-saat tertentu saja. Komunikasi kami juga minim.

That's called marriage? I know. That's not it.

Ah, ya meskipun begitu setidaknya aku bersyukur Gavi masih mengizinkanku tinggal di apartment ini. Tidak terlalu besar, tapi cukup untuk ditinggali dua orang. Fasilitasnya juga lengkap. Ditambah pemandangan yang memanjakan mataku.

Baru-baru ini aku juga baru mengetahui bahwa Gavi tengah menempuh pendidikan S2. Tidak heran, ayahnya adalah seorang politikus. Pasti mudah bagi Gavi untuk meraih apa yang dia inginkan. Sungguh, aku semakin rendah diri jika harus disandingkan disisinya.

Gavi : Aku mampir.

Keningku berkerut begitu melihat pesan dari Gavi. Pasalnya dia jarang datang saat siang hari. Beruntung, aku sudah membuat sup bakso. Mungkin nanti dia bisa menyantapnya.

Tidak sampai 15 menit, lelaki itu tiba. Kemejanya masih rapi tapi wajahnya tampak kusut. Begitu kami bersitatap,  dia langsung menghampiriku.

"Udah makan?" tanyaku hati-hati.

Mulanya Gavi diam sembari menatap sup yang asapnya masih mengepul. "Belum."

"Oh." Kepalaku mengangguk. "Mau makan sup?"

Tanpa menjawab, lelaki 26 tahun itu memasuki kamar kami. Artinya dia mau makan, kan? Atau tidak? Hal semacam ini yang membuat aku kesulitan memahami Gavi. Dia tidak terbaca, apapun yang akan dia lakukan itu tidak bisa diprediksi.

Aku tetap menyiapkan makanan untuk suamiku itu. Syukurlah tak berselang lama dia kembali dengan kaus hitam polosnya. Rupanya dia habis membersihkan badan. Kenapa tidak memberitahuku, sih? Apa susahnya mengatakannya?

Kami makan bersama tanpa adanya pembicaraan. Kentara sekali kalau Gavi kelaparan. Makannya sangat lahap bahkan meminta tambah. Aku cukup senang mengetahui makananku cocok di lidahnya.

Begitu selesai makan, aku bergegas mencuci piring-piring kami. Sementara Gavi masih duduk di kursi. Aku tahu matanya menatapku tajam, tapi lebih baik aku pura-pura tidak menyadarinya. Tatapan Gavi itu menyeramkan.

Dari sudut mata, aku mengamati pergerakannya. Berjalan mendekatiku sambil membawa gelas berisi air putih kemudian meminumnya hingga tandas.

"Habis ini ke depan," titahnya sambil meletakkan gelas di samping tanganku.

•••

Kukira Gavi ingin membicarakan sesuatu yang penting, ternyata dia cuma minta ditemani menonton Netflix. Uh, ekspektasiku terlalu tinggi.

Sampai beberapa menit, dia masih fokus menonton sampai akhirnya berdecak kesal sambil mengacak-acak rambut lebatnya. Kalau aku tak salah, dia sedang menghadapi suatu masalah makanya melarikan diri ke sini.

The Lost EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang