15. Put to The Front

16.8K 1.1K 12
                                    

•••

Shiren

Begitu membuka mata, aku tersadar bahwa aku berada di rumah sakit. Sepertinya tidak ada luka serius yang mendera tubuhku sehingga cukup diinfus saja. Suasana di ruangan ini begitu ramai, terlebih tidak ada seorang pun yang aku kenal.

Ini membuat memori masa laluku kembali menghantui. Kemudian aku teringat Gavi. Pria itu pasti terluka saat menolongku. Aku jadi takut dia pun menghilang sama seperti Bum kala itu.

Demi menghilangkan rasa cemas yang mendera, aku langsung bertanya pada perawat di ruangan. "Sus, ini saya—"

"Oh, Mbak sudah bangun, ya." Perawat berbaju putih itu mendekatiku. "Ada yang sakit, Mbak?"

Aku menggeleng segera. "Saya nggak papa, tapi—"

Lagi-lagi aku terdiam, bingung saat akan menanyakan kondisi Gavi. Harus kupanggil apa dia? Mantan suami? Atau teman?

"—orang yang kecelakaan sama saya, dimana?"

Perawat itu memiringkan kepalanya. "Eum, ini saya mau nanyain wali-nya Mbak malah. Siapa tau ada yang bisa kami hubungi."

Seketika aku mematung, perasaanku bertambah kalut ketika perawat itu menanyakan waliku. Tidak, tidak mungkin kejadian itu kembali terulang.

Napasku seakan terhenti sesaat. "Saya nggak kecelakaan sendiri, Mbak. Ada seseorang, namanya Gavi. Dia kenalan saya. Sekarang dia di mana?"

Mendengar penjelasanku, perawat itu memeriksa catatan yang dia bawa. Setelahnya dia menatapku sambil meringis tak enak. "Maaf, Mbak. Saya baru ganti shift. Sebentar saya tanyakan teman saya dulu."

Dia pergi dari hadapanku begitu saja. Tentu aku semakin gusar dibuatnya. Aku takut apa yang aku pikirkan benar-benar terwujud. Maka dari itu, jarum infus yang masih terpasang di tanganku segera aku lepas. Tanpa berlama-lama, aku turun dari brankar untuk mencari Gavi.

Langkah kakiku tertatih keluar meninggalkan ruangan yang diisi cukup banyak pasien lain. Namun begitu sampai di koridor, aku melihatnya dalam kondisi yang tidak bisa dikatakan baik.

Lengan kirinya terluka, itu pasti akibat dari tindakan gegabahnya saat menyelamatkan aku. Tiba-tiba saja air mataku mulai mengalir. Gavi sudah berkorban banyak. Setiap aku dekat dengannya, ada saja hal yang membuat Gavi terluka.

"Ren—"

"Gav, kamu nggak papa?" tanyaku dengan suara bergetar. "Tangan kiri kamu kenapa? Ini patah tulang atau retak, Gav? Kamu... kamu harusnya istirahat. Terus ini kamu mau kemana? Aku—"

"Ren!" Gavi memegang bahuku dengan tangan kanannya. "Tenang. Aku nggak papa."

Dia berbohong. Jelas-jelas aku bisa melihat dengan baik perban putih yang melingkar diarea lengan kirinya hingga ke bahu. Itu kah yang disebut baik-baik saja?

"Harusnya aku nggak nemuin kamu lagi, Gav. Kamu selalu dapet masalah tiap kita ketemu. Maaf."

Agaknya aku ini menjadi pembawa sial bagi Gavi sendiri. Saat masih menikah dulu, dia juga terluka karena menyembunyikan aku dari orang tuanya. Sekarang, aku pun masih membebaninya.

Sekuat tenaga aku mencoba menahan tangis, walaupun sekali dua kali air mataku keluar dengan kejamnya. Kini Gavi menatapku dengan pandangan dalam. Seakan ada beribu kata yang ingin dia ucapkan.

"Maaf, ya. Gara-gara aku kamu jadi kayak gini," ucapku pelan.

Dia belum juga menanggapi. Lalu ditengah lalu lalang orang-orang, tangan besar Gavi mengelus rambutku dengan lembut. Alhasil, aku mendongak untuk menatapnya.

The Lost EarthWhere stories live. Discover now