5. Terra

17.2K 1.2K 12
                                    

•••

Shiren

Sewaktu aku dan Gavi berpisah, dimulai dari saat itu, aku memikirkan cara untuk bertahan di dunia yang keras ini. Sadar tidak ada dukungan dari keluarga, mau tidak mau aku harus banting tulang untuk menyambung hidup. Berbekal ijazah S1 Pendidikan Bahasa Inggrisku, aku berhasil diterima disalah satu tempat kursus Bahasa Inggris.

Untuk saat ini, hal itulah yang membuatku amat bersyukur. Gajinya memang tidak besar, tapi toh aku bukan penggemar barang-barang branded. Jadi dengan gaji UMR, aku bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Hari ini adalah hari keduaku bekerja. Tahu tidak? Badanku entah kenapa beberapa hari kebelakang terasa sangat lelah. Pergi ke warung samping kontrakan saja sudah membuat kakiku pegal-pegal. Dugaanku sih ini terjadi karena kelelahan.

"Mau pulang, Mbak?"

Itu Karina, salah satu rekan kerjaku. Dia cantik, baik, dan ramah. Aku suka kepribadiannya yang supel itu. Lantas, aku segera menjawabnya, "Ah, iya. Udah sore juga nih. Mbak Karina mau langsung pulang?"

"Mampir klinik dulu. Mau periksa dedek bayi, nanti ditemenin suami, Mbak," ujarnya seraya mengelus perut yang mulai tampak membuncit.

"Wah, sehat-sehat ya, Mbak." Aku mengeluarkan dompetku. "Saya duluan, ya. Kayaknya bentar lagi busnya lewat."

"Hati-hati, Mbak Shiren."

Aku membalasnya dengan senyum sambil sedikit berlari mendekati halte bus. Sepanjang menunggu bus itu, hatiku resah. Aku seperti melupakan sesuatu yang penting. Sampai kemudian aku menyadari jadwal bulananku sudah tak pernah datang.

Tubuhku berubah kaku walaupun angin sore menerpanya dengan kencang. Seolah menyadarkanku akan kegiatan yang dulu aku lakukan dengan Gavi mungkin saja membuahkan hasil. Ini semua diluar rencanaku. Lalu, bagaimana... bagaimana aku bisa seceroboh ini?

Tidak, kecemasanku semakin menjadi-jadi. Ini tidak benar. Untuk itu aku memutuskan untuk menyambangi apotek dekat kontrakan. Aku bahkan mengabaikan tatapan keheranan penjaga apotek ketika melihatku terburu-buru.

Meskipun hatiku sedikit goyah, aku harus tetap memastikannya. Dipikiranku saat ini hanyalah agar apa yang aku khawatirkan tidak akan terjadi. Kalau iya, itu akan menjadi mimpi buruk bagiku. A nightmare.

"Everything will be okay," bisikku pada diri sendiri.

Setidaknya hanya kalimat itu yang terus aku lafalkan selama menunggu hasil tes kehamilan. Tanganku sampai gemetar ketika memegangnya. Kuambil napas dan membuangnya, begitu terus sampai titik dimana perasaanku seolah diaduk-aduk saat melihat dua garis yang muncul.

Apa ini? Aku menutup wajahku dengan kedua tangan sambil terisak. Tidak aku sangka Tuhan akan memberiku takdir yang begitu rumit. Bayi ini hadir disaat hubunganku dan Gavi telah benar-benar selesai. Tidak ada lagi yang tersisa.

Tangisku memenuhi ruangan. Jika aku mengatakan ini pada Gavi, apa dia akan senang? Apa dia akan bertanggungjawab dan menerima anak kami? Atau mungkin sebaliknya? Dia akan mengabaikanku dan menolak anak ini?

Aku duduk bersandar pada dinding sembari menekuk lututku dengan kedua tangan. Bodoh sekali! Tentu saja Gavi tidak mau repot-repot mengurus anak dari wanita sepertiku ini. Hubungan kami tidak berarti apa-apa. Hanya sebuah bentuk tanggungjawab dari Gavi padaku.

Terlebih, reaksi orang tua pria itu pasti juga buruk. Mereka saja tak mau aku hadir dalam hidup Gavi, lantas bagaimana dengan janin ini?

Ya, keputusanku ini sudah benar. Menyembunyikan hal ini mungkin adalah yang terbaik. Toh, tidak ada yang menginginkan keberadaan bayi ini selain diriku. Berikutnya, aku pun tertawa sedih.

The Lost EarthWhere stories live. Discover now