2. Sand Bed

19.4K 1.1K 15
                                    

•••

Gavi

Pernikahanku dan Shiren akhirnya digelar di rumah sakit hari itu juga berkat paksaan dariku. Gadis seperti Shiren memang mudah ditebak. Dia pasti akan patuh terhadap perintah ayahnya. Untung saja aku berbohong mengenai itu, kalau tidak, dia pasti tidak akan mau menikah sampai sekarang.

Hal yang penting adalah aku bebas dari pidana dan papa tidak akan pernah tahu masalah ini. Untuk masalah Shiren yang akan tinggal denganku, aku sudah memikirkan kalau dia akan tinggal di apartment yang dibelikan papa. Keluargaku sangat jarang berkunjung ke sana. Pasti aman jika menyembunyikan Shiren di tempat itu.

Kami melakukan prosesi pernikahan secepat kilat. Tentunya karena kami masih ada kewajiban menguburkan jenazah ayah Shiren. Malam harinya, aku membawa Shiren ke apartmentku. Sebelum ke sini, aku meminta dia menunjukkan arah rumahnya agar kami bisa mengambil beberapa pakaian dan barang yang diperlukan Shiren.

Sepanjang perjalanan, dia sesekali menangis. Itu sedikit menggangguku. Aku tidak suka suara tangisan. Apalagi dari perempuan. God, stop her please.

Sampai di apartment, tangisan Shiren mulai mereda. Aku kemudian meminta izin untuk mandi. Setelah mandi, ternyata Shiren masih saja terbengong di ruang tamu. Aku menghela napas lelah.

"Apa kamu nggak capek duduk di situ terus?" tanyaku sarkas.

Shiren bergeming. Wanita dengan rambut sebahu itu menoleh padaku tanpa minat. Dia benar-benar seperti orang yang kehilangan arah. Yah, memang wajar. Orang yang habis kehilangan satu-satunya anggota keluarga pasti akan bertingkah begitu. Sepertinya aku harus sedikit melembutkan sikapku padanya.

"Mandi dulu sana." Aku melenggang melewatinya dan berjalan menuju kulkas. "Nanti aku pesenin makanan."

Satu botol soda sepertinya cocok untuk sedikit menyegarkan tenggorokanku. Diwaktu begini, aku harus sedikit melepas penat. Karena tak kunjung ada jawaban dari Shiren, aku lantas menoleh padanya. Shiren tampak ingin mengatakan sesuatu.

"Aku... bakal tinggal di sini?" lirihnya.

"Hmmm. Iya untuk sementara." Bisa kulihat Shiren menghela napas sedih. Tunggu, apa dia tidak mau?

"Udah. Enjoy aja. Anggap rumah kamu sendiri." Aku menatapnya serius. "Aku nggak bakal apa-apain kamu."

Shiren memang cantik, tapi gadis lugu sepertinya bukan tipeku. Tidak mungkin aku tergoda untuk menyentuhnya. Lagipula, sebentar lagi aku juga akan menceraikannya. Akan bahaya jika sesuatu muncul ditengah-tengah kami.

"Kamar kita pisah?" Gadis itu mulai rileks bicara denganku. Huh, jadi dia takut padaku tadi?

"Iya, ada dua kamar di sini. Mending sekarang kamu mandi sama ganti baju dulu," saranku.

"Iya." Shiren pun akhirnya mau beranjak. Aku menatap kepergian gadis itu dalam diam.

•••

Hari kedua pernikahan kami, aku sama sekali tidak mengunjungi Shiren. Sebenarnya ini tidak disengaja. Aku sangat sibuk dengan tugas kuliah yang menumpuk. Alhasil, waktu yang kuhabiskan lebih banyak di kampus. Namun, hebatnya Shiren sama sekali tidak menghubungiku. Padahal aku sudah memberinya nomor ponsel agar kami bisa saling terhubung.

Aku bahkan sudah membuat alibi pada kedua orang tuaku bahwa aku akan sibuk mengurus tugas kuliah S2 ini. Makanya aku akan lebih sering pulang ke apartment. Alasan itu aku buat agar papa dan mama tidak curiga jika sewaktu-waktu Shiren memintaku datang ke apartment. Namun, tanpa diduga dia malah bersikap demikian.

Karena merasa bersalah, dihari ketiga aku pun memutuskan untuk mengunjunginya. Sayang, saat sudah sampai di tempat parkir, salah satu rekan kuliahku mengatakan jika file yang akan kami gunakan untuk presentasi hilang. Aku langsung panik. Karena waktunya yang mepet, aku pun tidak jadi mengunjungi Shiren.

The Lost EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang