10. Get the Wind Up

18.6K 1.1K 5
                                    

•••

Gavi

Entah sudah berapa kali aku memukul setir untuk menyalurkan emosi yang sejak tadi aku pendam. Sial, bagaimana bisa wanita itu menyembunyikan anakku begini?

Apa menurutnya aku tidak berhak untuk tahu? Ditambah lagi, sekarang putra yang baru saja aku ketahui keberadaannya itu malah menghilang entah kemana.

Damn, I'm being such an idiot!

Apa ini adalah hukuman yang Tuhan berikan padaku karena telah membohongi Shiren? Jika iya, maka aku sangat menyesal telah melakukannya. Harusnya semua ini tidak terjadi. Mengurus anak bukan perkara mudah, dan Shiren telah melakukannya sendiri selama 4 tahun lamanya.

Jika saja wanita itu memberitahuku tentang kehamilannya, maka sudah pasti aku tidak akan menceraikan dia. Meski seberapa hebat papa akan marah pun, aku tetap tidak akan melakukan itu. Anakku berhak mendapat kasih sayang ayahnya. Bumi pantas bahagia.

Harusnya Shiren tidak melakukan semua ini. Dia tidak hanya memberikan rasa bersalah yang begitu besar bagiku, tetapi juga ketidakadilan untuk Bum. Fuck, aku kesal pada Shiren.

Karena kepalaku mulai pusing, akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari mobil dan berjalan sempoyongan ke apartment. Tangan kananku tidak melepaskan pigura yang menampilkan foto Bum.

Begitu sampai, aku langsung merebahkan diriku di sofa. Mataku memejam beberapa saat. Aku bingung harus melakukan apa sekarang. Aku syok berat ketika tahu kalau selama ini aku punya anak. Terlebih, bagaimana reaksi mama dan papa kalau tahu hal ini?

Aku mendesah karena berpikir sesuatu yang buruk. Tidak-tidak, ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan itu. Sekarang yang terpenting Bum ketemu dahulu, baru kemudian aku memikirkan cara untuk mengatakan semua ini pada keluargaku.

Saat melihat kembali potret Bum, aku segera memutar otak, berpikir bagaimana agar anakku itu bisa segera ditemukan. Tak lama, aku teringat dengan beberapa tangan kanan papa yang dulu mendampinginya ketika masih menjabat sebagai anggota dewan.

Mereka mungkin bisa membantuku sekarang. Tanpa berpikir lagi, aku pun segera menghubungi mama.

"Halo, Gav? Kenapa?" Suara mama seperti orang yang baru bangun tidur. Aku sebenarnya tidak enak membangunkannya seperti ini, tapi Bum tidak bisa menunggu lebih lama lagi.

"Mama masih punya nomornya Pak Syarif nggak? Aku butuh."

"Pak Syarif?" tanya mama. Aku berdeham membenarkan.

"Loh, beliau kan udah lama nggak kerja sama Papa kamu lagi. Butuh buat apa, sih?"

Aku menjilat bibirku sebelum mulai beralibi. "Buat keperluan keamanan, Ma. Di kampus."

"Emang kamu kenapa? Kok sampai harus pake keamanan gitu?" Nada suara mama terdengar panik. Sial, aku tidak bermaksud membuatnya begitu.

"Ma, please." Aku menggeram pelan. "Mama punya apa nggak?"

"Punya, Gav. Tapi kamu kenapa dulu?"

"Kalau Mama nggak punya ya udah—"

"Iya, Mama kasih ini. Kamu tuh, ya. Dari dulu selalu bikin Mama khawatir. Tinggal bilang alesannya apa susahnya, sih?"

Aku menutup telepon mama secara sepihak. Mendengarkan ocehan mama disaat kepalaku pusing adalah pilihan yang buruk.

Tidak lama berselang, Mama mengirimi sebuah nomor telepon. Syukurlah, beliau masih menyimpannya. Tanpa pikir panjang aku pun langsung menelepon nomor yang mama beri.

The Lost EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang