Langkah Juna memelan, ia akhirnya bisa bernapas lega saat melihat keberadaan Hana. Gadis itu berdiri di depan mobilnya dengan kepala menunduk.
Juna kembali mempercepat langkahnya dan mendekati Hana.
"Hana," panggil Juna.
Hana mendongakkan kepalanya, memaksakan senyumnya.
"Lo kemana aja? Gue cariin lo."
"Maaf Kak, tadi gue juga cari Kak Juna tapi nggak ketemu," jawab Hana berbohong.
"Ponsel lo di mana? Kenapa nggak telfon? Kenapa nggak angkat panggilan gue?" tanya Juna berbondong, menunjukkan rasa khawatirnya.
"Maaf Kak, batrai gue habis," kedua kalinya Hana berbohong.
Juna menghela napas berat, mencoba untuk tenang.
"Lo nggak apa-apa, kan?" tanya Juna memastikan.
Hana menggeleng, "Nggak apa-apa, Kak."
"Udah lama nunggu di sini?"
Hana menggeleng lagi. "Nggak juga."
Juna segera melepaskan jasnya dan mengenakannya di tubuh Hana. Juna tidak ingin melihat Hana kedinginan karena angin malam.
"Ayo kita masuk mobil."
*****
Sepanjang perjalanan pulang Hana hanya diam saja, pandanganya kosong ke luar jendela. Pikiran Hana masih dipenuhi dengan ucapan-ucapana kejam teman-teman Juna saat di pesta tadi. Rasanya masih jelas, sangat menyakitkan.
Juna sendiri beberapa kali melirik ke Hana dan merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan gadisnya.
Juna melepaskan tangan kirinya dari stir mobil, kemudian ia mengenggam tangan kanan Hana.
"Han, lo beneran nggak apa-apa?"
Hana menoleh ke Juna, memaksakan senyumnya untuk kesekian kalinya.
"Nggak apa-apa Kak. Gue mendadak ngerasa lelah."
"Sebentar lagi sampai, lo bisa segera istirahat."
"Iya Kak. Makasih."
****
Setelah memastikan Juna sudah pergi dari depan rumahnya, Hana kembali keluar rumah dengan langkah pelan. Hana tidak ingin membangungkan Ibunya yang pasti sudah tidur di kamar.
Kemudian Hana segera menelfon Jian, Hana sangat membutuhkan gadis itu. Hana tidak kuat jika harus memendamnya sendiri. Hana ingin menangis sepuasnya saat ini.
****
Jian berusaha menenangkan Hana, menepuk-nepuk punggung tangan Hana. Sejak tadi Hana bercerita dengan tangisan yang cukup deras.
Sepanjang Hana cerita, Jian memilih mendengarkan saja dengan tatapan tidak tega. Tentu saja Jian terkejut dan ikut marah melihat temannya direndahkan sampai menanagis seperti ini.
Namun jika Jian ikut emosi sekarang akan membuat Hana semakin menangis dan terluka. Jian tidak mau hal itu terjadi.
"Emang kenapa Ji kalau gue berhenti kuliah? Emang kalau nggak punya pendidikan sampai kuliah, orang itu kelihatan beda ya? Derajatnya lebih rendah, ya?" isak Hana tak terhentikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
HI AWAN
Teen Fiction(MARIPOSA UNIVERSE) Bagiku, menyukainya dari jauh sudah cukup. Aku berani menyukainya tapi takut untuk mendekatinya. Bahkan, untuk menyebut namanya saja aku terlalu gugup. Karena itu, aku selalu menyebutnya Kak Awan.