3. Kepergian yang Abadi

11.3K 1.2K 248
                                    

❗❗ WARNING ❗❗

Bab 1-5 isinya flashback semua ya. Bab 6 nanti baru ke masa sekarang.

Kalau ada pertanyaan kenapa bab 1, 2, 3, 4, dan 5 isinya flashback, kenapa nggak langsung ke masa sekarang aja? Karena aku mau kalian nikmatin cerita ini pelan-pelan. Nggak tiba-tiba mereka langsung jadi tetangga yang akrab. Biar kalian berasa ikut masuk ke dalam ceritanya juga. Biar bisa ngerasain gimana perubahan sikap mereka dari masa lalu ke masa depan.

Aku update lagi kalo vote dan komennya udah 500 yaawww💗💗

***

3. Kepergian yang Abadi

"Terkadang kebahagiaan yang paling kita impikan justru menjadi penyebab luka yang paling dalam."

***

Hari itu menjadi hari penuh duka yang mendalam untuk Caca. Ketika neneknya yang berusia enam puluh lima tahun, dinyatakan meninggal dunia setelah mendapat perawatan intensif selama satu minggu di rumah sakit.

Seusai pemakaman sang nenek, Caca lebih memilih duduk dan melamun di balkon kamar dibanding harus bertemu dengan keluarga dan kerabat yang berdatangan untuk melayat.

Tatapan Caca lurus ke depan tanpa arah. Napas kasar berkali-kali ia hembuskan. Seolah dengan melakukan hal itu, rasa sesak di dadanya bisa sedikit teratasi. Mata sembab yang beberapa kali ia usap kasar dengan tangannya, kini ia biarkan kembali meneteskan air mata.

Pikirannya menerawang jauh ke belakang. Saat neneknya masih sehat. Saat neneknya menyambut penuh kasih sayang setibanya ia di Jakarta. Saat neneknya menemani mengerjakan PR. Saat neneknya menemani bermain anak ayam. Saat neneknya membuatkan susu cokelat kesukaannya sebelum tidur. Saat neneknya membantu mengepang rambut sebelum berangkat sekolah. Saat neneknya mengajari merajut di hari libur.

Caca benar-benar merasa kehilangan meski momen-momen yang ia miliki bersama sang nenek tidak terlalu banyak. Sebab, saat tinggal di Bali, ia memang jarang sekali pulang ke Jakarta menemui nenek. Hanya di waktu-waktu tertentu seperti libur akhir tahun atau dalam keadaan-keadaan mendesak lainnya. Selama ini mereka lebih banyak menghabiskan waktu melalui panggilan video.

Menghembuskan napas, Caca memejamkan mata sejenak sebelum kembali membukanya. Menatap gumpalan awan yang menghitam di atas sana. Seakan sore ini, langit turut bersedih atas kepergian neneknya.

Bibir Caca bergetar. Ia kembali terisak dalam diam. Selama ini, tinggal bersama nenek di Jakarta memang sudah menjadi impiannya sejak lama. Karena dari neneknya lah ia bisa merasakan kasih sayang seutuhnya. Berbeda saat ia tinggal di Bali bersama orang tuanya. Caca selalu merasa kesepian karena selain ayahnya, mamanya yang notabene wanita karier juga selalu sibuk dengan pekerjaan. Mengurus bisnis vila mereka yang tersebar luas di Bali.

Ternyata benar, terkadang kebahagiaan yang paling kita impikan justru menjadi penyebab luka yang paling dalam. Seperti Caca yang mempunyai banyak rencana bahagia setelah tinggal bersama sang nenek. Kini, justru harus menelan mentah-mentah rasa kecewa. Sebab, neneknya pergi sebelum rencana-rencana bahagia itu bisa ia wujudkan.

"Caca... " panggil Helena. "Caca sayang."

Wanita berambut hitam sebahu dengan atasan kemeja putih serta celana bahan berwarna hitam itu mengayunkan langkah kakinya ke arah balkon. Menatap Caca yang menunduk sambil menggelengkan kepala heran.

"Kamu ini... Mama panggil dari tadi nggak nyaut-nyaut. Padahal duduk di sini."

Helena akhirnya ikut duduk di kursi kosong sebelah Caca. Sementara Caca, ia sempat menoleh sekilas meski sekarang kembali mengarahkan tatapannya ke arah lain. Kemana saja asal tidak menatap langsung wajah sang mama. Lantaran satu jam yang lalu mereka sempat berdebat perihal rencana kepindahan ke Bali lagi.

FAVORABLEWhere stories live. Discover now