38; Aku di Sini

1.8K 167 61
                                    

Happy Reading
___

"Sarada, kuantar pulang, ya."

Kala itu, empat kata beribu makna yang Boruto katakan terasa seperti angin lalu. Bagi Sarada, empat kata itu adalah hal biasa yang Boruto ucapkan ketika mereka akan pulang di sore hari. Namun, kini empat kata itu adalah salah satu hal yang paling Sarada rindukan dari seorang Boruto. Ia rindu.

Sangat.

"Sarada, kau marah, karena tadi aku menyelamatkanmu? Maaf kalau begitu. Tadi aku hanya khawatir kau terluka. Jadi, aku maju lebih dulu dan menahan musuh itu."

Kala itu, Boruto nyaris tertusuk pedang beracun milik musuh hanya untuk menjadi perisai Sarada. Waktu itu Sarada begitu marah ketika Boruto terluka hanya demi dirinya. Sebenarnya, Sarada bukan marah, melainkan khawatir Boruto terluka karena melindunginya. Padahal, waktu itu mereka hanyalah sepasang sahabat yang sering kali bertengkar hanya karena masalah kecil, tapi melihat salah satu di antara keduanya terluka, rasanya jantung mereka berdegup begitu kencang hingga napas terasa sesak.

Semuanya terjadi di masa lalu, begitu kekal di ingatan hingga terasa mustahil untuk dilupakan. Kini, Sarada tersedu di sisi Boruto. Tangisnya tak dapat ia hentikan. Bahunya naik-turun seiring dengan sesak yang terasa menjadi-jadi. Bibirnya melirihkan nama Boruto berulang kali. Tangannya menekan luka Boruto bersama chakra kehijauan.

Sakura yang memapah Sasuke terlihat turut sedih. Sarada tidak punya kemampuan medis, tapi demi Boruto, dalam waktu yang singkat Sarada dapat menggunakannya dengan hebat.

"Bangun, Boruto ...." Air mata Sarada jatuh, melewati tangannya dan tangan Boruto yang masih saling tumpu di atas luka lelaki itu. Perlahan, tetesan air mata Sarada menyentuh luka Boruto, membaur dengan darah dan meresap begitu dalam.

"Kaa-san." Himawari menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Matanya yang basah segera menatap Hinata tak percaya. "J-jantung Boruto-nii ...."

Tangis Hinata pecah. Byakugan yang ia aktifkan pun melihat hal yang sama dengan Himawari. Mereka melihat, mereka menyadari, bahwa jantung Boruto nyaris terhenti detaknya.

Tangan Sarada menekan luka Boruto semakin kuat ketika chakra-nya nyaris habis. Chakra kehijauan itu kini hilang-timbul, nyaris tak ada lagi. Untaian rambut Sarada menyentuh tubuh Boruto. Gadis itu tak tahu harus berbuat apa lagi. Isak tangis miliknya menyatu dengan udara. Napasnya gemetar dan sesak.

"Boruto, kumohon bangun, bangun, Boruto. Ada satu hal yang ingin kukatakan, untukmu yang selama ini selalu kusimpan sendirian," lirih Sarada. Ia memejamkan matanya, menunduk hingga wajahnya dan tubuh Boruto hanya terpaut jarak satu jengkal. "Bangun, kumohon ...."

Suaranya begitu lirih, bahkan tak dapat didengar oleh siapa pun.

"Aku mencintaimu, Boruto ...."

Bersamaan dengan terucapnya kalimat itu secara lirih dari mulut Sarada, detak jantung Boruto pun terhenti. Benar-benar terhenti hingga Hinata segera mencium dahi Boruto.

Semua orang tertunduk. Menahan tangis atas kepedihan ini.

"Detak jantung Boruto, telah terhenti sempurna," jelas Hinata.

Pernyataan itu membuat semua orang terkejut. Banyak yang membola dengan mulut terbuka kecil, begitu kaget serta sedih. Di antara semua orang yang hadir, maka Hinata, Himawari, Sarada, juga Sasuke adalah orang yang paling terpukul batinnya. Jika Hinata dan Himawari kontan meraih dahi dan tangan Boruto untuk diusap, dan Sasuke menatap Boruto dengan tatapan yang sama ketika dulu Naruto meninggal, maka Sarada kontan menggeleng tak percaya.

Rules [BoruSara Fanfiction]Where stories live. Discover now