Epilog

4.4K 240 80
                                    

Happy Reading
___

Menjadi hokage di usia muda membuat Sarada benar-benar sibuk di Kantor Hokage. Saking sibuknya, sering kali ia melupakan fakta, bahwa setiap sore ia harus pulang ke rumah dan memasak makan malam untuk Boruto. Malah ujung-ujungnya, Boruto lebih sering makan di luar karena Sarada yang tak kunjung pulang hingga larut malam.

Boruto berusaha memahami segalanya. Bahkan ia berusaha meringankan beban kerja Sarada. Boruto tak mengharapkan balasan apa pun dari Sarada. Kecuali, ia ingin menghabiskan sedikit waktunya dengan wanita itu.

Jika hanya ada satu sisi yang berjuang memahami, mungkin apa yang mereka bangun tak akan bertahan lama. Berat sebelah.

Seperti malam ini, lagi-lagi Boruto harus pergi ke minimarket terdekat, membeli beberapa bungkus mi instan dan telur. Boruto menghela napas lirih ketika ia lihat ada banyak pasangan yang belanja bersama di minimarket, tertawa kecil karena hal-hal lucu.

Boruto berjalan menuju kasir yang untungnya sedang sepi.

"Ini saja, Tuan?" Penjaga kasir bertanya.

"Iya."

Boruto menatap jam yang dipajang di dinding minimarket. Nyaris jam sepuluh malam.

"Apa Sarada sudah sampai di rumah?"

Usai membayar barang yang ia beli, Boruto pun bergegas pulang. Langkah kakinya lebar-lebar sebagai isyarat bahwa ia ingin segera tiba di kediamannya. Selain karena malam ini udara terasa cukup dingin, ia juga ingin segera pulang karena ia rindu Sarada.

Kemarin, Sarada tak pulang, dan kemarinnya lagi Sarada hanya pulang untuk tidur, lalu berangkat lagi bahkan ketika matahari belum terbit sempurna. Bertemu di Kantor Hokage pun keduanya hanya sempat membahas pekerjaan dengan wajah serius. Padahal Boruto tersenyum untuk Sarada, tapi Sarada menanggapinya dengan setumpuk dokumen yang harus Boruto urus.

"Aku pulang!" Boruto melepaskan alas kakinya. Ia tersenyum kecil, berharap Sarada sudah pulang. Setidaknya malam ini mereka bisa makan mi instan bersama.

Namun begitu tiba di rak sepatu, senyuman Boruto sirna. Belum ada sepatu Sarada di sana, artinya, Sarada belum pulang.

Boruto menghela napasnya. "Belum pulang, ternyata ...."

Boruto akhirnya pergi ke dapur dan menghabiskan dua porsi mi instan seorang diri. Ia lapar, juga rindu masakan Sarada. Iris birunya menatap dua mangkuk mi yang tadi ia habiskan sendirian. Tak berselang lama, ia beralih menatap kursi makan yang ada di hadapannya.

Apa salah, jika Boruto ingin Sarada meluangkan sedikit waktunya untuk mereka berdua? Empat bulan mereka menikah, Sarada malah lebih sering menghabiskan waktunya berduaan dengan komputer daripada dengan Boruto. Boruto merasa, sedikit diabaikan. Selain itu Boruto juga merasa cemburu, karena daripada dirinya, Shikadai justru lebih sering berinteraksi dengan Sarada di Kantor Hokage.

"Harusnya ... aku tidak boleh egois. Menjadi hokage adalah cita-cita Sarada. Aku harus memahaminya ...." Boruto menatap meja dapur yang belakangan ini tak pernah disentuh oleh Sarada. Jujur, dadanya terasa sedikit sesak.

"Sarada pasti bahagia, karena cita-citanya tercapai ...."

Boruto berusaha memahami Sarada, dan Sarada sendiri malah sibuk dengan pekerjaannya.

Siapa yang salah?

° ° °

Sarada sibuk membaca beberapa lembar dokumen di meja kerjanya. Shikadai yang duduk di sudut ruangan mulai geram dengan tingkah serius wanita itu. Setiap hari terus sibuk dengan segudang pekerjaannya. Shikadai juga laki-laki, tentu paham bagaimana perasaan Boruto yang setiap siang datang ke Kantor Hokage untuk membawakan Sarada bekal.

Rules [BoruSara Fanfiction]Where stories live. Discover now