1

5.3K 704 20
                                    

Kapal pecah. Itulah yang terbayang dalam benak Sri ketika turun dari mobil jemputan. Rumahnya pasti seperti kapal pecah. Ia tidak pernah melihat kapal pecah dalam kehidupan nyata, tapi ia merasa tidak ada istilah lain yang lebih tepat. Ia ingin membayangkan kapal Titanic, tapi tampaknya reruntuhan kapal Titanic masih jauh lebih mewah dari rumah kontrakannya itu.

Sri bisa membayangkan kondisi rumahnya: daun-daun kering di halaman rumah berserakan, lantai keramik lengket dan ngeres, cucian menggunung seperti volkano yang siap meletus, piring-piring bekas makan masih menumpuk, dan tanaman-tanaman di pekarangan rumah layu karena tidak dirawat. Satu-satunya yang sehat dan diberi makan mungkin hanya Tabib, burung jalak peliharaan Aji, suaminya yang pengangguran itu.

"Hati-hati, Sri! Dadaah!" teriak Tia, teman kerjanya dari balik jendela mobil yang terbuka.

Sri berbalik dan melambaikan tangan. Ia ingin balas mengatakan sesuatu, tapi tubuhnya yang sudah terlalu lelah membuatnya hanya mampu tersenyum. Dibiarkannya minibus itu melaju pergi, mengantarkan teman-teman seperjuangannya pulang ke rumah masing-masing. Sri beruntung karena rumahnya termasuk yang paling dekat sehingga ia tak perlu menghabiskan waktu terlalu lama di dalam mobil jemputan sumpek itu.

Sesaat setelah mobil itu menghilang di belokan, Sri melanjutkan perjalanannya melewati pintu gerbang perumahan. Sebuah gapura besar bertuliskan "Welcome to Grand Adam Garden" tampak gagah menyambutnya, disusul sebuah pos satpam dan portal besi melintang.

Sri menoleh ke arah seorang laki-laki berkumis tebal yang sedang berdiri di depan pos. Laki-laki itu mengenakan seragam putih-biru dongker khas satpam, dengan peluit di saku baju dan alat detektor logam di tangannya. Ia sempat melongok curiga ketika menyadari ada seseorang yang melangkah masuk ke area perumahan.

"Mas Wawan?" sapa Sri.

Mas Wawan tersenyum. Wajah curiganya berubah menjadi berseri-seri. "Eh, Mbak Sri. Kirain siapa. Baru pulang, Mbak?"

"Iya, lembur, Mas," jawab Sri, sambil menghentikan langkahnya. Ia tidak berencana untuk mengobrol panjang lebar, tapi ia tak ingin terlihat sombong dengan melengos begitu saja. Hampir setiap hari ia bertemu Mas Wawan, mau tak mau ia harus menjaga hubungan baik dengan laki-laki itu.

"Oh, iya. Capek, ya, Mbak?" tanya Mas Wawan.

Samar-samar terdengar suara beberapa rekannya yang sedang mengobrol di dalam pos, sepertinya sedang membicarakan hasil pertandingan sepak bola kemarin.

"Iya ...." Sri hanya tersenyum, batal melanjutkan ucapannya. Ia tahu pertanyaan itu retoris belaka, hanya sekadar ekspresi simpati untuk memulai pembicaraan.

"Ngomong-ngomong, baju pesanan saya udah selesai belum, Mbak?"

Kapal pecah! Tiba-tiba pemandangan kapal pecah di dalam benaknya bertambah pecah dengan tumpukan kain yang belum sempat ia jahitkan, yang kini dianggurkan begitu saja di sisi mesin jahit. Bekerja sebagai cleaning service seharian saja sudah membuat ia kelelahan, belum lagi harus menjalani pekerjaan paruh-waktunya sebagai tukang jahit.

"Minggu depan ya, Mas. Aku belum sempat, nih."

"Yo wis, nggak apa-apa. Yang penting jangan sampai lupa. Bayarnya nanti saja, kan?"

"Nanti saja kalau sudah selesai." Sri tersenyum getir. "Aku duluan, ya, Mas?"

"Iya, Mbak. Hati-hati," ucap Mas Wawan, kemudian ucapannya sempat terhenti. "Pelakunya belum ketahuan."

Sri mengangguk, ia paham apa yang ingin disampaikan Mas Wawan. Belakangan ini kasus begal dan perampokan memang kembali marak di daerah itu. Sebagai petugas keamanan, Mas Wawan pasti merasakan beban yang berat akibat peristiwa itu. Mungkin itulah mengapa ia tampak lebih awas dan curiga dalam mengawasi setiap orang yang melewati gerbang perumahan.

Pertanyaan Paling AnehWhere stories live. Discover now