3

3.5K 519 65
                                    

"Kamu pasti belum makan malam, kan, Honey?" ucap Aji sambil menggeser kursi di ruang makan dan mempersilakan Sri duduk.

Sri mematung. Sekujur tubuhnya terasa kaku, mulutnya tak sanggup bergerak untuk menjawab pertanyaan itu. Pikirannya seolah korslet saat sedang mencoba mengenali sosok laki-laki yang ada di hadapannya. Apakah ini suaminya yang ia selama ini ia kenal? Ada apa dengan Aji? Apakah ia sedang bercanda?

Suara dehaman Aji membuat Sri tersadar. Otaknya baru bisa bekerja memproses pertanyaan tadi. Apakah ia sudah makan? Ya. Ia baru saja ditraktir nasi kuning oleh temannya yang berulang tahun. Namun ia tak sanggup menjawab pertanyaan itu. Wajah Aji tampak penuh harap. Ia hanya menggeleng, kemudian duduk di kursi yang sudah disusun rapi.

Aji memijat pundak Sri beberapa kali dengan pijatan yang bertenaga, tapi sama sekali tak menyakitkan. Rasanya sangat nikmat hingga membuat Sri tanpa sadar memejamkan mata.

"Pasti capek banget, ya? Tenang, aku lagi masak sesuatu buat kamu. Tunggu sebentar, ya?"

Wajah Sri masih melongo. Aji yang ia kenal tidak mungkin melakukan hal seperti ini. Jangankan memasak makan malam untuk istrinya, melangkahkan kaki ke dapur saja sudah menjadi hal yang tabu baginya, seolah dapur adalah teritori milik negara lain yang tak bisa ia lewati begitu saja. Lagipula, setahunya, Aji tidak pandai memasak. Satu-satunya yang bisa ia masak adalah air—dan mi instan. Itu pun tak akan ia lakukan selama ia masih bisa memerintah Sri dari atas kursi malasnya.

Aji bergegas kembali ke dapur, seperti ingat bahwa ia meninggalkan sesuatu dalam keadaan menyala. Dari mulutnya terdengar senandung pelan mengikuti irama lagu. Ia juga bersiul ketika melewati kandang Tabib, meski burung itu tak menanggapinya dan hanya bergeming di pojok kandang.

Dalam hati, ada semacam intuisi yang membuat Sri merasa bahwa laki-laki itu bukanlah Aji. Langkah kakinya dan cara ia menggerakkan badan tampak sangat asing di mata Sri. Ada gairah, keluwesan, dan kelembutan, tapi juga dominasi dan ketegasan. Semua hal itu tak pernah dimiliki Aji.

Namun, siapa dia? Apakah ia hanya orang yang sekedar mirip? Apakah Aji punya saudara kembar? Membayangkan bahwa ia sedang bersama seseorang yang mirip suaminya di dalam rumahya sendiri membuat Sri merinding. Kalau dia bukan Aji, lalu Aji ada di mana?

Berkali-kali Sri menggeser posisi duduk, tapi ia masih merasa tak nyaman. Ia menarik napas berkali-kali. Rumah itu kini terasa sangat berbeda. Perabot-perabot tersusun rapi, alunan musik romantis terdengar samar-samar, dan aroma harum daging tercium dari arah dapur. Tiba-tiba suara Tabib membuat ia terkejut. Burung itu menjerit-jerit dari dalam sangkarnya yang digantung di sudut ruangan. Terkadang, ia memang bisa membuat suara seperti kucing atau seperti suara tawa manusia, tapi suara yang diperdengarkannya malam itu lebih mirip jeritan ketakutan.

Saat Sri terperangah memperhatikan gerak-gerik Tabib, tiba-tiba saja ruangan itu menjadi gelap. Tabib berhenti menjerit. Sebuah nyala api kecil muncul dari arah dapur. Api kecil itu bergerak pelan ke arah Sri, menancapkan bayangan-bayangan panjang pada dinding di sekelilingnya.

"Candle light dinner, spesial buat kamu," ujar Aji, nyaris berbisik. Wajahnya yang terkena cahaya lilin sekilas tampak seperti hantu.

Setelah meletakkan lilin itu di atas meja, ia menyalakan satu lilin lagi. Ruangan menjadi lebih terang, tapi tetap remang-remang.

"Dalam rangka apa, sih, Mas?" tanya Sri. Akhirnya ia memberanikan diri mengajukan pertanyaan.

"Dalam rangka mengusir lalat," jawab Aji, kemudian tertawa. Seekor lalat yang tadi berkeliaran kini memang sudah menjauh, entah takut pada cahaya lilin atau takut pada orang yang menyalakannya. "Bercanda. Dalam rangka membahagiakan istri tercinta, dong."

Pertanyaan Paling AnehWhere stories live. Discover now