19

1.7K 340 71
                                    

Perlahan-lahan, Aji melepaskan plester yang menutup mulut Sri. Meski tampaknya ia sudah melakukannya selembut mungkin, kulit pipi Sri masih terasa sakit. Setelah itu, ia juga melepaskan kain yang menyumpal mulut Sri. Kain itu tampak basah saat dilempar ke lantai. Pada saat itulah ia baru menyadari bahwa kain itu tak lain adalah potongan kain perca dari kolong mesin jahitnya sendiri.

Sebuah hembusan napas besar keluar dari mulut Sri sesaat setelah mulutnya terbebas. Kemudian, Sri tidak membuang waktu lagi, ia langsung berteriak dengan seluruh tenaganya yang tersisa.

"Setaaaaaaaan! Bangsaaaat!"

Kain itu langsung masuk lagi ke dalam mulutnya. Aji menggunakan telapak tangannya untuk menahan kain itu agar tetap menyumpal mulut Sri. Suara jeritan Sri diredam dengan nyaris sempurna kecuali erangan yang tidak seberapa kerasnya.

Ketika sudah tidak mampu berteriak lagi, Sri terheran-heran dengan dirinya sendiri. Kenapa ia tidak berteriak "Toloooong!" atau "Maliiiiiing!" atau "Kebakaraaaaan!" yang akan lebih mudah menarik perhatian orang yang mendengar suaranya? Kenapa malah "setan" dan "bangsat"? Tampaknya ia belum berubah, masih naif dan terbawa perasaan.

Aji tertawa seraya terus menyumpal mulut Sri. Pundaknya naik turun saat ia tertawa, dan bibirnya terlihat lebih lebar dari sebelumnya.

"Enak, kan?" tanya Aji retoris. "Lebih enak memaki, kan, daripada menggerutu? Menggerutu itu nggak ada gunanya. Lagian, penelitian tentang kristal air itu cuma omong kosong kok, pseudo-sains."

Mendengar itu, Sri menduga bahwa Aji memang bisa (atau setidaknya pernah bisa) membaca pikirannya. Apakah sebelum merasuki suaminya sosok itu pernah menjadi hantu yang tembus pandang dan melayang-layang di sekitarnya sambil menguping isi pikirannya?

Sri berhenti memberontak. Ia harus menghemat energi. Perlahan-lahan, ia mencoba mengatur napasnya kembali, tetapi perutnya malah kembali bersuara. Ternyata ia memang lapar. Ia baru ingat bahwa kemarin selama hampir seharian ia tidak diberi makan dan minum. Mungkin itulah kenapa tubuhnya begitu lemas dan suaranya habis. Aji mungkin sengaja melakukan ini agar Sri tak punya pilihan lain.

"Meskipun kamu teriak minta tolong, dengan suara kamu yang lemah itu, aku nggak yakin bakal ada yang dengar. Bang Ali tetangga sebelah sudah seminggu ini pulang kampung ke rumah istrinya di Solo. Rumah kontrakan di sebelah kiri juga sampai sekarang masih kosong. Tapi aku tetap nggak mau kamu menjerit. Untuk jaga-jaga. Kasihan kamunya juga, nanti tenggorokan kamu sakit," kata Aji sambil mengambil semangkuk sup itu, kemudian menghirup aromanya. Ia memejamkan mata, ingin menunjukkan kepada Sri betapa nikmatnya sup yang ia buat. "Kamu janji nggak akan teriak lagi?"

Sri tak tahan lagi. Tanpa tenaga, meronta-ronta pun percuma. Ia mengangguk berkali-kali. Dari sudut matanya keluar setetes air mata. Ini mungkin ekspresi kejujuran yang tak bisa dibantah lagi.

Aji tersenyum. Ia meletakkan mangkuk itu kembali di atas nampan, kemudian kembali melepas sumpalan di mulut Sri. Sekali lagi, Sri dapat bernapas lega. Belajar dari kesalahannya sebelumnya, kali ini Sri benar-benar tidak berteriak. Ia menarik napas dalam dan berusaha menenangkan dirinya. Namun jantungnya berdetak lebih cepat ketika ia melihat Aji mendekatkan wajahnya, kemudian mengecup keningnya yang basah oleh keringat. Ia menyendok nasi dan kuah sup secara bergantian, kemudian menyuapkannya ke mulut Sri. Tampaknya ia adalah tipe orang yang percaya bahwa kuah dan nasi tidak boleh bercampur menjadi satu di atas piring. Di luar dugaan, sup daging yang ia santap terasa sangat gurih dan nikmat. Apakah Aji membelinya di restoran mahal? Atau mungkin ini akibat rasa lapar yang tak tertahankan?

Sri sempat terbatuk-batuk karena mengunyah terlalu cepat. Dengan sigap, Aji menyuapinya segelas air. Sri mendesah lega setelah segelas air putih segar membasahi tenggorokannya.

Pertanyaan Paling AnehWhere stories live. Discover now