2

3.5K 558 10
                                    


Sri masih ingat jurus pamungkas Aji saat dirinya malas memasak atau menyeduhkan kopi. Ia akan duduk di teras rumah sambil merokok, sesekali menyiuli burung peliharaannya yang tak pernah lelah berkicau, lalu bergumam pelan tanpa melirik sedikit pun kepada istrinya.

"Bib, kata Pak Ustaz, istri yang taat kepada suami nanti bakal masuk surga, lalu bagaimana dengan istri yang malas melayani suaminya? Istri yang bikin kopi saja malas? Masuk mana tuh, Bib?" ucap Aji, seseolah sedang berbicara kepada Tabib, seekor burung jalak berbulu hitam legam.

Tabib akan bekicau dengan suara nyaring, seolah tertawa menimpali ucapan majikannya. Namun seandainya burung itu sedikit lebih cerdas, ia pasti tahu bahwa ucapan itu tidak ditujukan kepada dirinya. Ia hanya dijadikan "cermin" untuk memantulkan ucapan itu kepada Sri yang sedang rebahan di atas tikar sambil menonton sinetron.

Kalau sudah begitu, Sri akan menghela napas, kemudian masuk ke dapur dan membuatkan kopi sesuai permintaan suaminya. Sesekali gerutuan akan keluar juga dari mulutnya. Betapa tega suaminya itu, membawa-bawa surga dan neraka hanya demi secangkir kopi. Padahal apa sulitnya menyeduh kopi instan? Laki-laki itu tidak tahu bahwa pada hari itu istrinya kelelahan setelah mencuci setumpuk pakaian dan mengerjakan pesanan jahitan. Betapa munafik suaminya itu, membawa-bawa agama untuk kepentingan dirinya sendiri, padahal membaca Yasin saja masih pakai huruf latin.

Protes-protes itu akan terletup keluar dari mulut Sri saat ia mengaduk kopi, menjadikan adukannya itu sedikit lebih liar dari seharusnya. Ampas kopi akan berbekas di bibir cangkir, bahkan beberapa tetes akan tumpah, dan itu akan mengundang komentar sinis lain dari Aji. Sri tidak peduli. Baginya, adukan yang kotor itu adalah semacam "pembalasan rahasia" darinya. Biasanya, Aji akan menyeruput kopi itu sambil menaikkan satu kaki ke atas kursi atau membuang abu rokoknya ke dalam asbak. Bagi Sri, Aji itu sangat kolot. Umurnya baru tiga puluh tiga tahun, belum punya anak, tapi gayanya sudah seperti orang tua.

Konon, hal itu terjadi karena ia meniru tingkah laku ayahnya. Ayah Aji—yang kini sudah bercerai dengan ibunya—pernah mendidiknya dengan sangat keras. Hasil didikan itu menjadikan Aji sebagai pribadi yang kaku dan membosankan. Meski Aji mengaku bahwa ia sangat membenci ayahnya, tapi tanpa sadar semakin hari ia menjadi semakin mirip dengan laki-laki yang dibencinya itu.

Ia hampir tak pernah memuji istrinya, bahkan jarang sekali mengucapkan terima kasih. Baginya, Sri hanya menjalankan tugas sebagai seorang istri, sebagaimana ia juga menjalankan tugasnya sebagai seorang suami yang bekerja mencari nafkah. Tentu saja ia hanya bisa berpikiran seperti itu ketika ia masih mampu memberi nafkah.

Hingga kemudian senja itu pun muncul. Pada senja yang lebih gelap dari biasanya itu, Aji pulang dengan kabar buruk yang sudah beberapa hari ia sembunyikan. Ia tidak lagi minta dibuatkan kopi atau minta dipijat, ia melepas seragam kerjanya, kemudian duduk di teras sambil mengenakan singlet. Ia tidak bersiul kepada Tabib seperti biasa, tapi hanya menatapnya seolah bisa berkomunikasi lewat telepati. Tabib bercuit, tapi majikannya itu tak menanggapi. Kemudian mereka terdiam. Lama sekali, hingga akhirnya Sri datang menghampiri sambil membawa secangkir kopi. Kopi langka yang dibuat tanpa diminta.

Dengan suara yang parau, Aji mengaku bahwa ia dan puluhan karyawan lainnya telah terkena PHK. Aji sendiri tidak mengetahui alasan sebenarnya. Secara resmi, mereka dipecat karena kondisi perusahaan sedang memburuk dan harus melakukan efisensi, tapi ada juga yang berspekulasi bahwa PHK massal ini adalah tindakan perusahaan akibat demonstrasi buruh bulan Mei lalu. Pihak perusahaan berjanji akan membayarkan pesangon secara mencicil, meski entah kapan. Aji tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Ia terlalu pening untuk memikirkannya. Ia meninggalkan Sri yang masih duduk termenung di teras beserta secangkir kopi hitam yang sama sekali tak disentuh, kemudian masuk ke kamar dan tertidur.

Satu jam kemudian, setelah orang-orang pulang dari masjid, Aji baru bangun dari tidurnya. Namun ia tidak bisa bangkit. Suhu tubuhnya meningkat tinggi, keringat bercucuran, dan napasnya tersengal-sengal. Ia memanggil-manggil Sri, tapi suaranya terlalu lemah untuk bisa didengar Sri yang sedang menjahit di ruang tamu. Barulah sekitar setengah jam kemudian, ketika Sri hendak mengambil benang di kamar, ia melihat Aji dalam kondisi kepayahan.

Sri segera mengambilkan Aji minum, memberinya obat penurun panas, dan mengompresnya. Seburuk-buruknya Aji, ia tetap suaminya. Sri memang tidak pernah memilihnya. Sebelum dijodohkan oleh keluarganya, ia tidak pernah mengenal Aji. Hingga usia lima tahun pernikahannya itu pun, ia masih merasa buram dengan masa lalu Aji, sifatnya, serta penyakit apa saja yang pernah dideritanya.

Aji memang terkadang mengalami demam tinggi tanpa sebab yang jelas. Konon, ia pernah terjatuh dari pohon beringin saat masih kecil dan itu membuat ia menjadi sakit-sakitan. Namun pada saat itu, ia menduga suaminya hanya syok karena baru saja kehilangan pekerjaan. Saat melihat suaminya dalam keadaan lemah itu, di dalam hatinya muncul suatu perasaan bersalah.

Sri merasa selama ini ia selalu menyimpan kebencian terhadap suaminya, bahkan diam-diam ia sering kali menyesali pernikahan mereka. Sri memang tidak pernah berani mengungkapkan kekecewaan itu secara langsung. Ia tidak mau bertengkar dengan suaminya dan merusak rumah tangga mereka hanya gara-gara secangkir kopi atau rumah berantakan. Satu-satunya pelampiasan yang ia miliki adalah gerutuan-gerutuan.

Ia ingat pernah membaca sebuah artikel yang dibagikan di beranda Facebook-nya, bahwa konon bentuk kristal di dalam air dapat dipengaruhi oleh kata-kata yang diucapkan kepada air itu. Kata-kata baik atau positif akan membentuk kristal-kristal indah, sementara kata-kata negatif akan membentuk kristal-kristal yang berantakan.

Tidak masuk akal, memang. Namun seandainya penelitian itu benar, kopi yang diminum Aji mungkin sudah dipenuhi oleh kristal-kristal mengerikan. Sri mulai menduga-duga, mungkinkah gerutuannya setiap kali menyeduh kopi telah membuat Aji sering sakit-sakitan dan bernasib sial? Atau jangan-jangan, kristal-kristal negatif itu kini telah memenuhi tubuh Aji, membuat kacau sel-sel otaknya, dan mengubahnya menjadi seperti sekarang ini: menjadi orang lain, yang anehnya, malah tampak lebih baik.

Pertanyaan Paling AnehWhere stories live. Discover now