14

1.6K 336 9
                                    


"Jadi, kemarin Anda ke mana, Ibu Sri?" Pak Gema mengaitkan kedua tangannya kemudian menatap tajam.

Hening sesaat. Suara detak jarum jam dinding menusuk-nusuk telinga Sri. Ia hanya berdua dengan atasannya di ruangan itu. Beberapa menit yang lalu, ia mendadak dipanggil untuk diinterogasi. Alasannya, kemarin ia telah membolos kerja tanpa keterangan.

Sri berusaha mencari posisi nyaman di atas kursi keras itu, tapi bagaimanapun juga ia tak mungkin merasa nyaman di bawah tatapan mata itu. Ia membayangkan mengambil pulpen di atas meja, kemudian menusuk salah satu bola mata itu. Mata itu tidak hanya bengis dan selalu menyalahkan orang lain, tapi juga cabul. Sri tahu kedua bola mata itu sering kali memandangi tubuhnya saat ia menunduk mengambil ember atau berjingkat mengelap kaca. Terkadang, saat Sri terpaksa harus membersihkan kamar mandi pria, ia akan bertemu Gema dan laki-laki itu akan memperlama kencingnya, mungkin ia berharap Sri akan melihat kelaminnya dan merasa tertarik. Menjijikkan sekali.

"Suami saya sakit, Pak," jawab Sri.

Sri tak pandai berbohong. Jadi ia menggunakan alasan yang mengambang. Ia tidak sepenuhnya berbohong, kan? Aji memang—dalam pengertian tertentu—sedang sakit, meski ia tidak mau menjelaskan bahwa salah satu gejala penyakit suaminya itu adalah membuatkannya makan malam lezat dan mengajaknya jalan-jalan ke pantai.

"Sakit apa?" tanyanya ringan.

Tak harus jadi orang pintar untuk menebak bahwa ia akan mengajukan pertanyaan itu. Bodohnya, Sri tak menyiapkan jawaban untuk pertanyaan paling masuk akal itu sama sekali. Ia pun menjawab dengan jawaban yang paling mendekati kebenaran, tanpa menjelaskan kebenaran yang sebenarnya. Entah dari mana ia belajar cara berpikir seperti ini, mungkin dari Aji selama beberapa hari ini. Berbohong memang adalah sebuah seni.

"Demam, Pak."

Pak Gema menaikkan alisnya yang tebal. Alis tebal itu terlihat kontras dengan bagian depan kepalanya yang botak. Sekilas ia tampak seperti Crayon Shinchan, minus kelucuan dan keluguan anak kecil itu.

"Cuma demam?" tanyanya, kemudian tersenyum dengan satu sudut bibirnya, nyaris tertawa.

Atasan macam apa yang akan merasa senang mendengar anggota keluarga bawahannya sedang sakit? Sri pikir, orang paling tak sensitif sekali pun akan berpura-pura menunjukkan simpati demi sekadar formalitas atau menjalankan prosedur. Bagaimana mungkin orang ini bisa menjadi atasannya? Apa ia tak pernah mendapatkan pelatihan kepemimpinan; bagaimana cara menjadi pemimpin yang baik, bagaimana cara berkomunikasi dengan bawahan? Oh, ya, Sri ingat bahwa Pak Gema masih memiliki hubungan kerabat dengan petinggi perusahaan. Ia adalah tipe orang yang mendapatkan kesuksesannya dengan cara curang, semacam benalu bagi dunia ini.

Pak Gema melanjutkan, kali ini sambil menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, kemudian sedikit memutar kursi itu. 

"Kalau saya, kalau saya lho. Kalau saya cuma sakit demam, saya nggak akan menyuruh istri saya bolos kerja. Laki-laki itu nggak boleh manja. Tapi setiap orang kan beda-beda, ya? Saya paham, kok. Nggak semua lelaki itu macho. Apalagi jaman sekarang. Banyak yang ngaku laki, tapi cemen. Saya dengar dari cleaning yang lain, nggak perlu saya sebutkan siapa, tapi katanya suami kamu pengangguran dan pemalas. "

Sri mengangguk, ia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia melihat Pak Gema tertawa mengejek, mengeluarkan sindiran yang sebenarnya terlalu frontal untuk dianggap sebagai sindiran. Rasanya seperti ada letupan panas di dalam dadanya ketika mendengar ucapan Pak Gema yang merendahkan Aji. Ia merasa mulut kotor pria jelek itu tak sedikit pun pantas untuk mengomentari suaminya.

Apa karena ia berkemeja, duduk di ruangan dingin dan bersih, ia bisa merasa dirinya lebih tinggi daripada Sri yang berseragam biru pucat sambil membawa-bawa kain pel dan ember? Sri benar-benar merasa geram, tapi juga tak berdaya. Tak sadar kah laki-laki ini bahwa Sri lah yang membersihkan tempat kencingnya setiap hari?

Pertanyaan Paling AnehOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz