18

1.6K 307 12
                                    

Dengan kondisi tangan dan kaki terikat, Sri hanya sempat tidur selama sekitar tiga jam, mulai dari pukul 12 tengah malam hingga pukul 3 dini hari. Ia bisa memperkirakan rentang waktu itu karena setiap kali ia membuka mata ia akan melihat jam dinding berlogo kopi instan di dinding kamarnya. Mungkin gambar dan logo kopi itu yang membuat ia sulit untuk tidur. Mungkin juga suami aneh dan sadisnya lah yang membuat ia ketakutan hingga tak bisa tidur.

Selama terjaga, Sri selalu memikirkan seribu satu cara untuk melarikan diri. Ia sudah berhenti mencoba melepaskan ikatan dengan tangannya. Tenaganya sudah habis untuk melakukan perlawanan dan menangis sejak awal ia disekap. Ia pun tak mungkin berteriak karena mulutnya disumpal kain dan diplester.

Dalam keheningan di pagi buta, ia dapat mendengar suara biola. Lagi-lagi, Aji memainkan biolanya. Melodinya masih sama dengan yang pernah ia dengar di tengah malam tempo hari: sedih sekaligus indah. Ia memang tidak paham musik, apalagi musik klasik, tapi dengan mendengar melodi itu berulang-ulang, ia bisa merasakan bahwa Aji yang memainkan biola itu adalah orang yang sama sekali berbeda dengan Aji yang menjadi suami sahnya.

Selama ini ia selalu mencoba membohongi dirinya sendiri dengan menganggap Aji sedang menderita gangguan jiwa, mungkin karena stres atau depresi. Bukankah ia sering kehilangan kesadaran karena demam tinggi? Bukankah pemecatan dari tempat kerjanya membuat ia benar-benar terpukul? Namun melodi itu membuat ia percaya bahwa sang pemain biola adalah individu yang berbeda. Ia bukan sekadar "versi lain dari Aji". Ia adalah orang lain dengan masa lalu, ingatan, dan tujuan hidup yang sama sekali berbeda.

Mungkinkah ini fenomena kepribadian ganda? Sri pernah mendengar fenomena semacam itu dari film-film horor. Satu kepribadian adalah orang baik dan satu kepribadian lainnya adalah sosok jahat yang berusaha mengambil kendali. Bedanya, dalam kasus Aji, kedua kepribadian itu sama-sama orang brengsek.

Kepribadiannya yang pertama adalah seorang lelaki kepala batu yang tidak sensitif. Memang, ia tidak pernah kasar secara fisik, tapi perilakunya memberikan teror secara verbal dan psikis bagi Sri.

Kepribadian Aji yang sekarang bukan sekadar brengsek, tapi monster. Kriminal. Ia memang sempat bersikap ramah dan lembut, tapi di balik itu semua, ia tidak ragu-ragu untuk menyiksa atau bahkan membunuh orang lain. Lalu, lihatlah apa yang lelaki romantis itu lakukan kepadanya?

Sejujurnya, Sri sudah tahu sejak awal. Jauh di dalam dirinya, ia sudah menyadari ada sesuatu yang jahat bersembunyi dalam diri Aji yang baru. Ia tidak buta. Ia tidak tuli. Benar kata Aji, diam-diam ia menyetujui semua ini. Ia tidak mau tahu dari mana Aji mendapatkan uangnya atau tindakan kriminal apa yang ia lakukan di luar sana, yang penting ia bisa mendapatkan makan malam romantis, perhiasan mewah, pakaian modis, atau kebut-kebutan dengan motor balap. Munafik!

Sri menangis sesenggukan. Bukan hanya karena nyawanya dalam bahaya, bukan hanya karena ia disekap oleh suaminya, tapi karena ia mulai menyalahkan dirinya sendiri. Andai saja ia melaporkan kecurigaannya kepada polisi sejak awal; sejak peristiwa candle light dinner, saat ia menerima hadiah kalung istimewa itu, mungkin akan ada banyak nyawa yang bisa diselamatkan. Mungkin Mas Wawan tidak akan dipecat dari pekerjaannya, anaknya tetap bisa melangsungkan pernikahan, dan Sri sendiri tidak berakhir dalam kondisi tangan dan kaki yang terikat seperti ini.

Di tengah kesendirian itu, a semakin keras memaki dirinya sendiri. Kamu tak ada bedanya dengan suamimu itu! Kamu tidak benar-benar menahan garpu itu, kamu tidak menahannya dengan sekuat tenaga, karena kamu ingin tahu rasanya menusuk mata si Gema brengsek.

Sri berteriak, tapi yang keluar dari mulutnya yang tersumpal itu hanya desisan seperti seekor ular. Ia membayangkan jika di hadapannya adalah ombak besar yang menggulung-gulung, ia akan mengatakannya lagi meski harus diulang berkali-kali.

Aku memang ingin menusuk matanya!

Tapi aku tak ingin benar-benar melakukannya.

Ia tidak sama dengan Aji. Ia hanya seorang penonton—seekor burung dalam sangkar yang gemar membayangkan liarnya dunia luar tanpa benar-benar ingin menjamahnya. Ia seperti penikmat wahana di taman hiburan yang ingin tahu rasanya jatuh dari ketinggian tanpa benar-benar berada di dalam bahaya. Ia adalah penonton film horor yang ingin merasa takut tanpa benar-benar dikejar setan. Ia hanya pembaca novel yang ingin merasakan alur pikir tokoh-tokoh sakit jiwa tanpa perlu ikut bertanggung jawab dengan tindakan-tindakannya.

Suara biola Aji mengalun semakin nyaring. Lama kelamaan, ia merasa seolah-olah dawai biola itu sedang menggesek tulang-tulang di tubuhnya. Sakit dan ngilu. Nada itu yang semula sendu, berubah menjadi tinggi dan cepat, seperti musik latar di film-film thriller saat sang tokoh utama dikejar-kejar oleh pembunuh berdarah dingin yang tidak bisa mati. Nada-nada tinggi itu berakhir secara tiba-tiba dalam akhir yang aneh, seperti ada senar yang putus. Kemudian, hanya ada keheningan.

Setelah itu, terdengar suara adzan dari mesjid di gang sebelah. Adzan pertama, pertanda untuk orang-orang yang ingin bangun tahajud. Saat suara adzan itu berakhir (sholat lebih baik daripada tidur!) Sri malah terlelap lagi.

Kali ini, ia bermimpi melhat Aji sedang meminum kopi buatannya, lalu suaminya itu berumam ketus, "Kopi buatanmu nggak enak. Jangan-jangan kamu beri sianida, ya?"

===

Sri berharap saat ia bangun, ia akan menemukan secangir teh hangat dan sandwhich isi ikan tuna. Kalau itu terlalu berlebihan, tak mengapa bila ia harus bangun tanpa ada yang menyiapkan sarapan, asalkan kedua tangannya tidak terikat. Ia rela menyiapkan sarapannya sendiri, bahkan membuatkan kopi untuk Aji, berapa pun yang ia mau, kalau perlu sampai perutnya kembung dan muntah-muntah. Ia juga tidak akan protes bila harus bekerja membiayai suaminya yang pengangguran, asalkan ia tidak terlibat dalam kasus pembunuhan berantai. Ia rela bila ia harus ... harus kembali ke dalam sangkar, asalkan tidak dimangsa oleh kucing garong? Benarkah demikian?

Ia dapat mendengar suara Aji yang tertawa di dalam kepalanya. Aku harus mengajarimu terbang terlebih dahulu sebelum aku melepaskanmu.

Suara itu tiba-tiba mewujud dalam kenyataan. Pintu kamarnya dibuka dari luar, kemudian Aji muncul sambil tersenyum. Ia membawa nampan berisi piring, mangkuk, dan gelas. Ia tidak tahu apa yang ada di dalamnya, tapi secara alamiah, perutnya bersuara nyaring membayangkan makanan dan minuman.

"Selamat pagi, sayang. Maaf sarapannya agak telat," ucap Aji sambil meletakkan nampan itu di pinggi tempat tidur, kemudian ikut duduk di sebelahnya.

Sri menatap Aji. Wajah lelaki itu masih tidak berubah sejak ia pertama kali melihatnya malam itu. Seolah baginya melihat Sri dalam keadaan bebas atau dalam keadaan terikat di atas ranjang adalah hal yang tak ada bedanya.

Ia melihat mangkuk di atas nampan. Isinya adalah suatu makanan yang bekuah. Sup? Sudah lama ia tidak makan sup. Ia sudah muak dengan steak, sandwhich, dan pizza, dan alangkah nikmatnya bila ia boleh menyeruput sup hangat pagi ini. Namun, apakah itu artinya Aji akan membukakan penutup mulutnya? Bila ia ingin menyuruhnya makan, mau tak mau ia harus melepaskan penutup mulutnya. Mungkin ini adalah langkah awal untuk membebaskan diri. Ia membayangkan, setelah melepaskan penutup mulutnya, lambat laun ia juga akan melepaskan ikatan tangan dan kakinya karena suatu alasan.

"Kalau mau makan, berarti penutup mulut kamu harus dibuka dulu, dong?" tanya Aji.

Sri mengangguk. Inilah yang ia nantikan.

Aji tampak menyentuh dagunya, kemudian melihata ke langit-langit, seperti sedang berpikir dengan serius.

"Kalau aku buka penutup mulut kamu, apa kamu akan teriak?" tanya Aji sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Sri.

Sri merasa bahwa ia harus berpikir cerdas kali ini. Ya, ia bukan lagi Sri yang naif dan lemah. Ia harus cerdas dan berani. Maka ia pun menggeleng perlahan.

"Janji?" ucap Aji.

Kali ini Sri mengangguk.

Pertanyaan Paling AnehWhere stories live. Discover now