4

2.6K 430 7
                                    

Ada sebuah mimpi yang menyusup ke dalam kepala Sri ketika ia sedang tertidur lelap. Dalam mimpi itu, ia sedang berdiri di sebuah ruangan yang besar dan megah. Di hadapannya, ada sekumpulan orang yang duduk menghadapnya, semua berpakaian rapi dan berwajah bahagia, meski ada juga yang menangis haru. Di samping kanan dan kirinya, ia melihat orang-orang berbaris bersama dirinya dengan wajah yang sama bahagianya.

Ia melihat kedua tangannya, kemudian menunduk melihat tubuhnya, dan baru menyadari apa yang sedang ia kenakan. Ia dan semua orang yang berbaris bersamanya sedang mengenakan pakaian yang sangat aneh, semacam jubah berwarna gelap dengan variasi warna biru dan kuning, yang membuat mereka tampak seperti sosok penyihir. Sri meraba kepalanya. Rupanya ia sedang menggunakan sebuah penutup kepala berbentuk persegi dengan tali menggantung di satu sisinya. Saat ia kembali memperhatikan orang-orang di samping kanan dan kirinya, mereka juga mengenakan topi yang sama.

Tak lama kemudian, seorang pria berkepala botak dan bertubuh tegap berjalan ke arah mereka. Ia tampak berwibawa meski pakaian yang ia kenakan tak kalah lucu dan aneh dengan mereka. Satu per satu, ia menyalami orang-orang yang berbaris bersama Sri. Ia tersenyum bangga, kemudian menggeser posisi tali yang menggantung di topi persegi mereka. Ketika tiba giliran Sri, dunia rasanya ingin lumer ke tanah. Jantung Sri berdetak kencang, seluruh tubuhnya gemetar. Gemetar karena bahagia. Lalu, pria itu pun menyalami Sri. Genggaman tangannya kuat tanpa keraguan, membuat pergelangan tangan Sri tak sanggup gemetaran lagi. Ditahannya genggaman itu dalam posisi sejajar, seolah ingin memberi kesan bahwa mereka adalah manusia yang setara dan saling menghormati; bukan guru dan murid, bukan orang tua dan anak muda, bukan laki-laki dan perempuan.

Saat memindahkan posisi tali di topi Sri, wajah laki-laki itu tiba-tiba mendekat. Sri agak kaget. Ia tidak melakukan ini kepada yang lain, hanya kepada dirinya. Kemudian laki-laki itu berbisik dengan suara yang entah kenapa terdengar bergema.

"Ini bukan mimpi," bisiknya. "Semua telah menjadi nyata."

Kemudian, tiba-tiba ia sudah berada di posisi semula, seolah adegan tadi tak pernah terjadi. Perubahan itu terjadi dalam sekejap mata, seolah ada bagian waktu yang terpotong. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia segera beranjak menuju orang di sebelah kiri Sri, kemudian menyalaminya seperti yang lain.

Pikiran Sri masih terasa gamang, tapi kemudian tatapan matanya tertuju pada satu titik di hadapannya. Di antara kerumunan orang yang sedang memperhatikan mereka, ia melihat dua orang yang tersenyum lebar ke arahnya. Mereka adalah bapak dan ibunya. Dalam mimpi itu ibunya masih hidup dan terlihat sehat.

Bapaknya, mengenakan jas hitam dan dasi biru gelap, tampak begitu gagah dan tampan. Ia mengangguk pelan ke arah Sri, seperti memberi sebuah konfirmasi bahwa "Ya, aku bangga padamu, Nak." Sementara itu, ibunya masih sibuk menyeka air mata di sudut matanya menggunakan sapu tangan, berhati-hati agar tak membuat make up-nya yang sempurna itu rusak.

Baru kali itu Sri melihat ibunya berdandan dengan sangat anggun. Rambutnya disanggul rapi, tubuhnya dibalut kebaya berwarna jingga yang membuat ia tampak sepuluh tahun lebih muda. Meski berusaha menahan diri, Sri tahu bahwa ibunya itu hendak menangis sesenggukan dan menumpahkan emosinya. Bukan menangis kecewa, tapi menangis bangga.

Ia tidak ingat apa yang terjadi kemudian, ingatannya tentang mimpi itu sedikit melompat-lompat. Yang ia ingat adalah adegan selanjutnya ketika ia memeluk kedua orang tuanya itu dengan perasaan hangat yang menyelimuti dadanya. Ia merasa telah kembali ke masa kecilnya. Kasih sayang orang tuanya yang hampir ia lupakan akhirnya dapat ia peroleh lagi dengan begitu kuat.

"Terima kasih, Bu. Terima kasih, Pak. Terima kasih sudah berjuang untuk aku," ucapnya sambil menahan tangis.

Lalu, saat ia mengalihkan pandangannya ke sebelah kanan, ia melihat sesosok pria tampan sedang tersenyum ke arahnya. Laki-laki itu tampak klimis dan bersih. Rambutnya disisir ke belakang menggunakan minyak rambut, kumis dan jenggotnya dicukur tanpa sisa. Ia mengenakan jas hitam dan kemeja merah marun tanpa dasi, di tangannya ada seikat bunga mawar yang warnanya begitu cerah.

Sri menoleh ke arah ibu dan bapaknya. Mereka mengangguk. Bapaknya menoleh ke arah laki-laki itu, kemudian tersenyum. Setengah berlari, Sri menghampiri laki-laki itu, kemudian memeluknya. Tubuhnya harum dan hangat. Saat ia menoleh ke arah wajah laki-laki itu, Sri merasa mengenalnya. Ia adalah Aji. Aji Arjuna. Namun bukan sekadar Aji, ia adalah Aji yang lebih dari Aji. Ia adalah Aji yang ia inginkan.

Aji kemudian berlutut di hadapannya, membuka sebuah benda kotak kecil berwarna hitam. Di dalam kotak itu ada sebuah cincin emas yang bersinar terang. Ia belum pernah melihat cincin yang bersinar seterang itu, seterik apa pun cahaya yang menyinarinya.

"Maukan kamu menikah denganku?" tanya Aji dengan suara paling merdu yang pernah ia dengar dari seorang laki-laki.

Sri menoleh ke arah kedua orang tuanya, ingin bertanya apakah lamaran model seperti ini dapat mereka terima. Mereka tersenyum, tanda merestui. Tanpa pikir panjang lagi, Sri pun menjawab pertanyaan Aji dengan sebuah anggukan mantap. Ia memberikan jari manisnya, dan Aji memasangkan cincin pertunangan itu. Mereka berpelukan lagi. Seisi ruangan menyaksikan mereka dan bersorak gembira. Beberapa orang temannya memeluknya dan mengucapkan selamat, mengungkapkan betapa beruntung dirinya telah lulus kuliah dengan predikat cum laude dan dilamar seorang laki-laki tampan nan kaya. Sri menjawab semua pujian itu dengan simpatik, berkata bahwa semua ini adalah pemberian Tuhan dan ia hanya berusaha sebaik-baiknya menjalani kehidupan.

Potongan adegan selanjutnya yang ia ingat adalah ketika ia dan teman-temannya berbaris untuk foto bersama. Sri berada di barisan terdepan di bagian tengah, seolah mereka bukan sedang berfoto bersama, tapi semua orang sedang berfoto bersamanya. Seorang fotografer dengan pakaian formal memberi mereka aba-aba. Mereka dipandu untuk melakukan berbagai pose, mulai dari pose formal hingga pose bebas. Akhirnya, mimpi itu diakhiri dengan adegan klise layaknya iklan perguruan tinggi swasta di televisi: mereka melempar topi ke angkasa dan melompat bahagia bersama-sama.

Pertanyaan Paling AnehWhere stories live. Discover now