9

1.8K 359 13
                                    


Saat matanya terbuka, ia dapat melihat pantulan Aji di cermin lemari. Ia sedang memasang dasi di kemejanya yang berwarna putih polos. Rasanya aneh sekali melihat suaminya itu mengenakan dasi. Seumur-umur, Sri tidak pernah melihat Aji mengenakan pakaian semacam itu. Satu-satunya pakaian paling rapi yang pernah dikenakan Aji adalah kemeja putih dan celana hitam—dan mungkin juga pakaian pengantinnya, kalau pakaian norak itu bisa dikatakan rapi.

Sebenarnya, Sri ingin sekali memakaikan dasi Aji. Ia membayangkan adegan di sinetron-sinteron; seorang istri memakaikan dasi suaminya sesaat sebelum suaminya itu (yang mungkin adalah seorang direktur perusahaan, atau mungkin seorang salesman door-to-door) berangkat kerja. Entah ada apa dengan dasi. Apakah sebegitu sulitnya mengikat dasi? Apakah istri-istri di sinetron itu juga mengikatkan tali sepatu suaminya? Tali kolornya juga? Sri ingat terakhir kali mengikat dasi adalah setiap hari Senin pada saat ia masih sekolah dulu. Setelah beberapa kali mengenakan dasi konvensional, akhirnya ia memilih dasi instan yang memiliki perekat di bagian belakangnya. Alasannya supaya praktis dan tidak terlambat berangkat ke sekolah.

Hidung Sri terasa agak mampat dan tenggorokannya sedikit serak, tapi aroma parfum dan minyak rambut Aji masih sanggup ia rasakan. Ia tidak paham parfum laki-laki, tapi ia suka aroma ini. Wanginya tidak menyengat, tapi menimbulkan perasaan rileks.

"Lain kali jangan tidur di bawah lagi, nanti kamu masuk angin," ucap Aji sambil meliriknya lewat pantulan cermin. Dasinya sudah rapi sekarang.

Dalam hati, ia bertanya-tanya, kapan suaminya itu tidur? Apakah ia pernah tidur? 

Sri segera bangkit duduk, kemudian meraba-raba sisi bantalnya. Ia mengambil ikat rambutnya yang tergeletak di atas kasur, kemudian mengikat rambutnya ke belakang. Dulu, ia pergi ke salon Tante Erie untuk merawat dan memotong rambutnya. Namun setelah Tince, asisten Tante Erie berhenti bekerja, dan kondisi keuangannya tidak memungkinkan, ia lebih suka mengikat rambutnya ke belakang.

"Semalam Mas ke mana?" tanya Sri.

Rasanya sudah tak pantas lagi ia memanggil Aji yang sekarang ini dengan sebutan "Mas". Mungkin lebih cocok dengan panggilan "darling", "babe", atau minimal "sayang", tapi ia tak ingin membuat suasana menjadi canggung.

Tidak ada jawaban. Aji malah bersiul, seolah ia tidak mendengar pertanyaan itu, padahal Sri yakin bahwa ia mengucapkan dengan cukup jelas dan nyaring.

"Mas Aji?" tanya Sri lagi sambil memeluk tubuhnya sendiri. Mungkin ia sudah masuk angin, sebab ia mulai merasakan tubuhnya merinding seperti hendak terkena demam.

Masih tak ada jawaban. Aji masih bersiul sambil menyisir rambut. Merasa diabaikan, Sri mengintrospeksi diri. Mungkin benar dugaannya bahwa suaminya itu sedang kesal dengannya. Namun kesalahan apa yang telah ia perbuat? Pikirannya meraba-raba kejadian tiga hari belakangan. Tidak ada yang salah. Ia memang tidak bisa berbuat banyak, sebab Aji selalu berbuat sesuatu untuknya terlebih dahulu. Ia benar-benar dimanjakan hingga pada titik tidak berdaya. Kemudian ia ingat pada sebuah alasan yang sangat klasik, alasan yang sama yang selalu membuat Aji sinis kepadanya.

Ia segera bergegas keluar dari kamar, bahkan langkah kakinya yang terlalu cepat hampir tersandung oleh undakan kecil di depan pintu kamar. Ia harus cepat. Bila tidak cepat, Aji sudah akan pergi lagi ke tempat kerja barunya yang misterius.

Ia masuk ke dapur, memasukkan segelas air ke dalam teko, kemudian merebusnya di atas kompor. Sambil menunggu air mendidih, ia mengambil kotak kaleng berisi kopi bubuk, kemudian memasukkan dua sendok kopi bubuk itu ke dalam cangkir. Cangkir kesayangan Aji, sebuah cangkir berwarna putih gading dengan gambar pepohonan berwarna biru di salah satu sisinya. Ia tersenyum geli menyadari bahwa ternyata ada detail seperti itu yang ia ketahui dari suaminya. Hubungan mereka mungkin tidak sehambar yang ia kira.

Pertanyaan Paling AnehWhere stories live. Discover now