7

2.1K 408 15
                                    

Suara mesin jahit memenuhi ruangan, diiringi suara radio lokal yang sedang menyiarkan tanya jawab seputar agama diselingi lagu-lagu religi dari grup kasidah setempat. Sri tetap fokus pada jahitan pesanan Mas Wawan yang ada di hadapannya. Kalau pesanan ini tak juga segera selesai, ia pasti akan kebingungan bila bertemu Mas Wawan saat berangkat atau pulang kerja nanti. Karena itulah, ia sengaja tidak menyalakan televisi. Gambar di layar televisi hanya akan mengalihkan perhatiannya, tetapi suara radio bisa menunda kejenuhannya tanpa membuatnya berhenti bekerja.

Di teras, Aji sedang memberi makan Tabib dengan jangkrik yang sebagian ia tangkap sendiri, sementara sebagian lagi ia beli dari uang gajian Sri. Burung itu tampak tenang, sangat berbeda dengan kicauan dan jeritannya tadi malam saat menjelang acara candle light dinner. Sri ingat, dulu Aji punya banyak burung. Mulai dari burung jalak, merpati, hingga pernah juga burung hantu. Sri lebih menyukai burung-burung seperti parkit atau love bird, tapi Aji tak pernah tertarik dengan burung-burung semacam itu. Namun toh pada akhirnya semua burung itu (kecuali Tabib si jalak Jawa) sudah ia jual saat mereka kehabisan uang.

Tabib berbeda dengan burung-burungnya yang lain. Baginya, Tabib adalah semacam jimat. Burung itu awalnya adalah burung liar. Konon, ia datang begitu saja saat Aji sedang sakit demam, hinggap di luar dekat jendela kamarnya, kemudian berkicau setiap hari. Kicauan Tabib menemani Aji yang sedang beristirahat penuh dan membuatnya terhibur. Karena itulah, saat akhirnya ia berhasil menangkap burung itu, ia menamakannya Tabib, sebab ia memiliki kemampuan menyembuhkan.

"Pesanan Mas Wawan?" tanya Aji sambil berlalu. Ia hendak ke kamar mandi, mencuci tangannya.

"Iya, Mas. Baju pengantin anak perempuannya Mas Wawan. Udah dua minggu baru aku kerjain lagi," jawab Sri agak lantang, khawatir suaminya tak mendengar karena sekarang posisinya sudah di dalam kamar mandi.

"Kenapa dia nggak nyewa baju pengantin aja, ya?" tanya Aji lagi.

"Yah, Mas tau, kan, anaknya Mas Wawan? Ukuran badannya agak susah."

"Oh, si gembrot itu, ya? Pantas," sahut Aji.

"Bukan gembrot, tapi plus size."

"Ya, terserah, lah." Aji keluar dari kamar mandi sambil mengelap kedua tangannya. "Mas Wawan ada kabar soal lowongan kerja?"

Sri terdiam. Ia lupa menanyakan hal itu kepada Mas Wawan. Saat memesan jahitan, Mas Wawan memang sempat berujar bahwa di tempat kerjanya akan ada lowongan pekerjaan dalam waktu dekat. Sri sudah pernah menanyakan kabar ini seminggu yang lalu, dan jawabannya masih negatif. Mungkin saja minggu ini sudah ada lowongan?

"Belum ada," jawab Sri.

"Mas Wawan bilang gitu?" tanya Aji.

"Iya." Sri mengangguk, tapi sangat perlahan, mungkin karena ia tahu ia sedang berbohong.

"Aku rasa dia itu basa-basi saja. Mana ada yang mau terima aku kerja? Nggak memenuhi persyaratan. Nggak pernah kuliah. Nggak bisa apa-apa." Aji menghela napas.

"Mas kan masih bisa servis elektronik?" tanya Sri.

Ia ingat bahwa suaminya itu dulu adalah lulusan sekolah kejuruan. Meski sudah lama tak menggunakan keahliannya di bidang yang sesuai, tapi ia yakin bahwa Aji setidaknya masih bisa membuka jasa reparasi TV atau mesin cuci, kalau ia mau belajar dan mengingat-ingat.

"Servis elektronik apa? Memangnya masih ada orang yang mau membetulkan barang elektroniknya? Kalau rusak, mereka tinggal buang, kredit lagi yang baru," gumamnya, kemudian kembali berlalu ke arah teras.

Sri kembali fokus pada jahitannya. Ia memperhatikan baju milik Mas Wawan yang menurutnya berukuran terlalu kecil. Ukuran tubuh anak Mas Wawan memang agak spesial. Katanya, ia sudah mencoba mencari tempat penyewaan baju pengantin, tapi tak ada yang pas di tubuhnya. Bagaimanapun, Mas Wawan ingin anaknya itu tampil sempurna di hari istimewanya. Bahkan ia sampai menjual motor kesayangannya demi hal itu.

Pertanyaan Paling AnehWhere stories live. Discover now