1. Dibuang

8K 598 7
                                    

     Wanita berkerudung merah dengan bibir yang dilapisi lipstik merah darah menatap agak tajam pada bocah 9 tahun di depannya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


     Wanita berkerudung merah dengan bibir yang dilapisi lipstik merah darah menatap agak tajam pada bocah 9 tahun di depannya. "Pegang kuat-kuat, jangan sampai jatuh ataupun hilang. Ayo, ikutin saya."

Oba diam-diam mengangguk patuh dengan rambut panjang coklat yang hampir menutupi matanya. Terkadang dia memang mendapatkan pelanggan seperti ibu ini, yang cerewet.

Pasar T ini adalah salah satu pusat perdagangan terbesar di kota ini, banyak orang-orang datang sebagai penjual atau pembeli membuat tempat ini tidak pernah sepi. Rejeki Oba juga tidak putus-putus kalau dia menjual jasa angkut barang belanjaan seperti ini, lumayan untuk menambal pantat kecilnya yang sering dipukul ibu.

Setelah bolak-balik yang tak terhitung beberapa kali, Oba akhirnya mengistirahatkan raganya yang lelah di sebelah remaja laki-laki kurus yang lelah menjual cangcimen.

"Capek ya Bang!" Sapa Oba ramah. Biasanya dia tidak pernah duduk di pinggir jalan begini, tapi karena ada temen jadi tidak canggung juga. Pakaiannya kan kumuh, kalau duduk sendiri di pinggir jalan, bisa-bisa dikira pengemis.

Anak laki-laki kurus yang lebih tua beberapa tahun dari Oba menganggukkan kepalanya acuh, siapa lagi ni bocah sok akrab.

Oba nyengir. Bocah berusia 9 tahun itu duduk malas dengan menatap langit. Langit setinggi itu kenapa bisa dia sependek ini. Saat Oba sadar dari aksi merenung, sosok di sebelahnya sudah raib entah kemana. Bibirnya mengerucut dengan hidung mendengkus, "huh."

Dikira saku celananya sudah penuh dengan uang recehan, Oba memutuskan untuk pulang segera. Dia juga belum mengerjakan tugas sekolahnya, apalagi di malam hari rumahnya akan gelap tanpa lampu.

Tempat tinggal ibunya adalah sebuah apartemen kecil yang kebanyakan dihuni oleh pelajar ataupun pekerja lajang. Apartemen ini benar-benar tidak bisa menampung untuk sebuah keluarga hidup, selain kecil di sini juga jauh dari sekolah negeri. Oba harus bangun saat azan subuh berkumandang lalu berangkat menuju ke sekolah dengan berjalan kaki.

Malam harinya, mata Oba berkedip-kedip mengintip ibunya yang tengah bersandar di ranjang tempat tidurnya. Suara ibu berisik sekali.

"Demi apa gua harus percaya omongan lo!"

Dian memelintir rambut panjangnya dengan satu tangan memegang telepon yang menempel di telinga.

"Tu orang menang ganteng doang, orangnya kere. Keluarganya banyak dan dia anak sulung, nggak yakin gua dia bisa sukses." Dia tertawa menghina. "Buruan kirim, gua mau lihat buktinya."

Oba menutup matanya, berharap ibunya tidak lagi berisik setelah sambungan teleponnya putus.

Dua menit kemudian.

"HAH, DEMI APA!" Mata Dian melotot saat membaca sebuah artikel yang membahas tentang seorang pria muda si investor sekaligus pengusaha sukses yang beberapa tahun ini mulai menunjukkan taringnya.

OBAWhere stories live. Discover now