17. Vertigo

1.1K 147 10
                                    

Kehidupan Oba berjalan seperti biasa, hanya saja masih perlu dengan kecerdikannya untuk menghindar dari Raden. Hingga sampai hari Senin ini, rencananya selepas sekolah Oba akan langsung pergi ke tempatnya belajar bela diri. Tapi saat bangun di pagi hari, saat kakinya baru menjejak ke lantai dingin. Badannya langsung goyah yang membuatnya tersungkur. Rupanya rasa pening tiba-tiba membuat matanya menggelap.

Seluruh orang dalam keluarga tentu saja panik mendengar Oba berteriak minta tolong.

Oba merasa dunianya menjadi berputar dan hidupnya butuh secepatnya diselamatkan.

"Tolong! Tolong Kakak!"

Setelah teriakan Oba menggema, tentu saja orang pertama yang mendengarnya adalah Nawfal yang jarak kamar mereka hanya dipisahkan lorong 1,5 meter.

"Kak! Ada apa?" Tanya Nawfal agak panik setelah membuka kasar pintu kamar Oba. Matanya penuh sorot kepanikan.

Oba mengulurkan tangan kirinya setelah berhasil duduk selonjoran. "Tolong Kakak," katanya sambil meringis.

Nawfal tentu saja dengan sigap meraih tangan dan merangkul Oba untuk berdiri lalu duduk di kasur dengan pelan. "Kakak kenapa?"

Dalam waktu singkat, Ariel dan Syiran masuk ke kamar Oba diikuti oleh Riama yang rambutnya baru diikat sebelah. Terlihat seperti tanduk kambing yang patah.

"Kakak ada apa?"

Empat orang berkerumun di sekitar Oba yang masih duduk di kasur setengah bersandar pada Nawfal. Semuanya memiliki wajah khawatir.

"Tadi Kakak merasa seperti dihisap oleh lubang hitam," kata Oba sambil meringis sesekali kala membuka mata yang rupanya masih disuguhi kegelapan. Ada apa dengan lampu di rumah ini. Kenapa semuanya hitam.

Oba memegang kepalanya dengan kuat seolah-olah itu akan lepas dari lehernya. Matanya terpejam erat dengan rintihan di bibirnya kala rasa pusing menyerang syaraf malas di otaknya.

Melihat tanda-tanda tidak mengenakkan yang Oba peragakan membuat semuanya sangat cemas. Setelah ditelusuri dengan baik, rupanya Oba mengalami demam dengan sakit kepala vertigo yang baru kali ini Oba rasakan, biasanya kan dia yang selalu membuat orang lain kena vertigo.

Ariel membaringkan tubuh Oba yang sepertinya tengah terombang-ambing. Menyuruh Syarin mengambil obat dari dokter yang sering diminumnya dan meminta Nawfal untuk membawa air putih sebaskom untuk memandikan Oba.

"Oba nggak kuat. Rasanya kepala Oba mau belah lima."

"Tolong."

"Tolong Kakak."

Oba terus meracau sambil memegangi kepalanya, padahal badannya tengah terbaring tapi jiwanya merasa dia berada di atas perahu yang diterjang badai.

Riama menggelengkan kepalanya, membantu memijat kepala Oba sesuai perintah papanya. Bagi Oba tentunya usaha Riama itu sia-sia. "Kepala kok bisa dibelah lima, kayak semangka aja Kak."

Ariel tidak tahu harus tepuk tangan atau jungkir balik. Jika sakit Oba sangatlah rewel, tidak sadar umurnya yang sudah semakin tua. Siapa nanti perempuan yang mau sama cowok rewel seperti Oba ini.

Jika Ariel mengkhawatirkan sesuatu yang di luar jalur, berarti saat itu ia benar-benar sedih melihat Oba yang sakit.

"Kak! Tangannya jangan pegang kepala terus, sini biar papa yang pijat."

Ariel menarik tangan Oba yang tengah menarik-narik rambutnya, berharap sakit di kepalanya akan ikut tercabut.

Nawfal membawa air, lalu membantu papanya mengelap badan Oba untuk ganti baju. Kakaknya itu juga mulai berkeringat padahal tidak panas sama sekali.

Ketika Syarin datang, keduanya sudah memasangkan celana baru untuk Oba. Wanita itu melirik anak perempuannya yang berusaha keluar dari selimut milik Oba. Tadi saat Oba ditelanjangi, Nawfal segera menutup Riama dengan selimut untuk tidak melihat aurat kakaknya.

"Kayaknya kakak jangan dikasih obat dulu deh Pa! Ma! Kakak kan belum makan, lebih baik kita bawa ke rumah sakit saja langsung."

Perkataan Nawfal membuat kedua tetua saling pandang, biasanya Oba kalau sakit paling mengeluhkan badannya yang sakit semua, jadi tidak dibawa ke rumah sakit. Lagipula Oba itu takut melihat orang sakit. Takut ikut sedih.

"Kasian Kakak, kepalanya sakit banget."

Dalam keriuhan isi kepalanya, Oba mendengar ia akan dibawa ke rumah sakit. Bibirnya bergerak untuk menolak, tapi tertahan dengan pikiran jika dokter bisa membantunya membelah kepalanya yang mau pecah ini. Ia juga tidak bisa membuka mata karena sekelilingnya terasa berputar.

Syarin mengangguk dengan wajah panik melihat kepala Oba yang tidak bisa diam. "Iya Pa. Lebih baik bawa ke rumah sakit saja langsung, takutnya ada apa-apa lagi. Kok bisa tiba-tiba Oba kena Vertigo."

"Iya sudah. Ayo berangkat," kata Ariel lalu bergerak membopong tubuh Oba untuk ia gendong di depan.

Dunianya makin berputar ketika papa menggendongnya, membuat Oba mengalungkan tangannya di leher Ariel dengan kuat. Dia membuka mulut, lalu menggigit bahu Ariel yang tertutup baju kemeja yang biasa ia pakai untuk pergi bekerja.

"Aduh Kak! Kok Papa digigit," keluh Ariel semakin melebarkan langkahnya menuju mobil.

Nawfal membututi dari belakang, sedangkan Syarin sedang bersiap-siap sebentar sambil mengemasi dompet dan tas kerja suaminya.

"Kok Oba nggak mau pingsan ya," kata Oba menyipitkan matanya. Perasaan berputar itu mulai sedikit reda, tapi rasa pusing di kepala masih menghantamnya.

Ariel terbatuk, "jangan pingsan dong Nak. Papa dan Mama nanti tambah khawatir kalau kamu pingsan."

"Tapi saakiiit."

Lagi-lagi Oba menggigit bahu Ariel, kali ini ia menancapkan gigi kelincinya di daging segar papanya langsung.

Ariel sontak menggerakkan tangannya memukul pantat Oba. Sudah besar kok, kan malu dia kalau sahabatnya tahu dia punya anak pemberontak manja seperti ini. Bisa-bisa jatuh martabat yang dibangunnya dari kecil menjadi anak yang dewasa.

Nawfal membantu papanya membuka pintu mobil, lalu dia duduk dan menjadikan pangkuannya sebagai bantal untuk kepala kakaknya.

Oba berbaring miring berganti memeluk pinggang Nawfal. Dia mulai sadar, jika sakit juga harus ingat Allah.

"Astaghfirullah, Astaghfirullah, Astaghfirullah."

Nawfal tersenyum geli, tangannya terangkat memijat ringan kepala Oba.

Setelah Syarin dan Riama masuk ke dalam mobil, Ariel segera melajukan kendaraannya menuju rumah sakit.

"Alhamdulillah Kakak sakit, aku jadi tidak sekolah deh. Libur."

Syarin langsung membekap mulut anak bungsunya itu, lalu menatap Riama dengan mata sedikit melotot. "Tidak boleh ngomong gitu, kakaknya sakit kok bersyukur. Cepat cabut kata-katanya."

"Ampun ya Allah, janganlah beri Kakak sakit." Riama meringis sambil melirik Oba yang tak bergerak, tapi suaranya mengucap istighfar masih terdengar jelas.

Jalan pagi ini sama seperti biasanya, cukup padat dan Ariel tidak bisa menaikkan kecepatan laju mobilnya di atas rata-rata. Dia tidak bisa mengambil risiko.

Tapi sesuatu terjadi tidak bisa di prediksi, karena beberapa hal sudah menjadi takdir yang tidak mampu manusia halau.

Dian menutup pintu rumah kontrakannya dengan kasar, lalu mengunci pintu dengan rapat. Air matanya berjatuhan membuatnya terduduk lemas, wajahnya menunjukkan segala kelelahan yang dia alami.

"Oba! Anakku sayang, cuma kamu yang Ibu punya. Ibu cuma punya Oba."

Dia pikir hidupnya akan bahagia bertemu dengan pria itu dan meninggalkan Oba hidup bersama Ariel. Apakah ini karmanya karena egois pada Oba.

Pria itu hanya membuatnya nyaman selama 2 tahun, sisanya ia hidup seperti di penjara. Dia dihina, dicampakkan, dipukul dan tidak dicintai. Ia lari, tapi pria itu masih mengejarnya. Ia ingin putus, tapi pria itu terus mengikatnya.

.
.
+Bersambung+
.
.

Setelah sekian bulan! Apa tahun ya. Saya akan mencoba melanjutkan cerita ini.

OBAWhere stories live. Discover now