11. Frustrasi

2.1K 279 8
                                    

Selamat membaca.

"Ibu benar-benar berharap kamu bisa tinggal sama Ibu lagi, kita hidup berdua seperti dulu ya."

Oba melepas tangannya yang masih dipegang Dian, bulu matanya bergetar dan enggan membalas tatapan ibunya itu.

Langit di luar tiba-tiba menggelap, deru angin berhembus hingga membuat kantong sampah di tanah luar terbang berpindah tempat.

"Jangan bahas ini sekarang ya Bu. Oba mau pulang, ada tugas yang harus dikerjakan segera."

Oba berdiri dari duduknya, dia tidak mau bertemu ibunya jika akhirnya membahas hal ini. Hatinya langsung tidak nyaman. Kehidupan sepinya dulu sangat berbeda dengan hidup meriahnya sekarang, bukan tidak mau hidup susah dengan ibu. Tapi dia tidak tahan dengan perlakuan ibu yang berbeda apa yang diterimanya dari Ariel.

Dulu Dian tidak selembut ini, kenapa saat kembali setelah menghilang selama 5 tahun. Ibunya ini menjadi orang yang lembut dan terlihat lemah. Sepertinya dari lubuk hati dia ingin melihat sosok Dian yang acuh tak acuh seperti dulu.

"Oba! Ibu tidak pernah mengatakan ini padamu sekali pun, tapi sekarang Ibu mau bilang. Ibu minta maaf sama kamu."

Oba beranjak, "maaf Ibu. Oba harus pulang." Dengan sedikit tenaga dia melepas genggaman tangan Dian, lalu melangkah lebar untuk pergi dari hadapan Dian segera.

Hari ini Raden tidak mengambil uangnya, jadi dia bisa menggunakan taksi untuk pulang. Sepanjang jalan, Oba merenungkan soal ibunya yang tiba-tiba menemuinya dan lebih parahnya lagi ingin kembali tinggal bersama.

Matanya menangkap beberapa anak muda dengan motor besar, melintas cepat melewati taksi yang ditumpanginya. Oba terhenyak, "astaga. Bang Rasen kan minta supaya nunggu di halte." Dia menoleh ke belakang, banyak kendaraan yang melaju.

Oba menepuk dahinya, "jadi gimana. Apa balik ke sekolah lagi ya!" Matanya menunjukkan sedikit kekhawatiran. Badannya condong ke depan, "Pak mau tanya, ini jam berapa ya?"

"Jam 3, Dek," jawab pak Supir.

Oba lantas bersandar keras, ini sudah satu jam berlalu. Mana mungkin Rasen dan geng Perfek mau menunggunya. "Tamat riwayatku." Dia menggosok telinganya yang tak gatal dengan gusar.

Sesampainya di rumah, Oba berjalan dengan lesu dan masuk ke kamar tanpa suara. Remaja itu berbaring malas di kasur, terus mengusak rambutnya. Panjang urusannya jika Rasen tidak mau memaafkan ketidakdisiplinan dirinya yang ingin bergabung ke gengnya.

"Kalau aja aku tahu di mana markas mereka, kan aku bisa nyusul. Isshhh."

Oba bangkit. Lalu berputar tak karuan. Dia menghela napas terus menerus, sambil memikirkan apakah Rasen akan marah besar atau tidak. Jam di dinding kamarnya masih berputar seirama hingga menunjukkan pukul 4. Oba baru masuk ke kamar mandi karena kegerahan.

Nawfal baru saja turun dari lantai 2 tapi tidak melihat sosok kakaknya yang biasanya ada di ruang keluarga, bermain game. Tapi sekarang kenapa sepi. Dia berbalik, kembali meniti tangga untuk pergi ke kamar kakak kecilnya itu.

Tok tok.

Tidak ada sautan dari dalam kamar. Alis Nawfal berkerut bingung, kemana larinya si penghuni kamar.

Ketika pintu kamar di buka, samar-samar terdengar suara air dari kamar mandi.

"Baru mandi?"

Nawfal menghela napas lalu duduk di kursi belajar Oba. Jari-jarinya mengetuk meja dengan pelan, menghitung dalam hati sampai Oba keluar.

"Fal! Ngapain di kamar Kakak."

Air masih menetes di rambut hitam Oba, jatuh ke leher dan pundak rampingnya. Nawfal mendesah prihatin, semenjak masuk SMA, kakaknya ini sepertinya agak kurusan.

"Aku cuma mau nengok, aneh aja Kakak nggak keluar kamar."

Selesai memakai bajunya, Oba langsung berbaring di kasur dengan handuk membalut kepalanya. "Hari ini Kakak frustrasi banget, dan yang paling penting kakak gagal ngejalanin syarat dari Bang Rasen. Huh," keluh Oba sambil menghela napas kasar.

Nawfal melipat tangannya di depan dada dan menatap wajah samping Oba. "Kakak tuh nggak cocok jadi anggota geng, lagian kalau mau berteman nggak perlu pakai masuk geng mereka."

Oba menggelengkan kepalanya diiringi suara seprai kasurnya yang bergesekan. "Kamu bakal ngerti nanti, geng itu bukan kelompok pertemanan biasa. Di dalamnya adalah anggota-anggota yang berkomitmen dan setia, ada janji yang mereka pegang untuk kebaikan anggota geng." Dia mendengkus halus, tidak sia-sia berselancar di google mencari tentang makna sebuah geng selain untuk berkomplot.

Kali ini Nawfal melengos acuh tak acuh, lalu berdiri dan pergi. Tujuannya ke sini hanya untuk memastikan keberadaan Oba.

"Lah, nggak jelas, main pergi aja."

Dia beranjak dan melangkah keluar kamar, lebih baik bermain PS ke bawah. Pusing kepalanya kalau dia harus berpikir keras lagi, belum lagi masalah Dian yang sepertinya serius mengajak tinggal bersama.

Jika dipikir-pikir Oba ingin menjadi anggota geng Perfek, alasan utamanya agar Raden segan untuk mengganggunya. Intinya niat masih kurang bulat, buktinya dia lupa ucapan anggota Perfek tadi untuknya tidak bermain game lagi.

Waktu tidak bisa berhenti dan kita yang sering beristirahat tidak akan bisa mengejarnya yang tak pernah jeda.

°
Bersambung.
°

Semangat buat diri sendiri.





OBAWhere stories live. Discover now