14. Taekwondo

2.7K 352 32
                                    

Dreamers nya golden maknae, keren banget kan. Makanya saya lagi seneng, jadi nulis Oba deh.

Selamat membaca.

••O••

Oba menarik napasnya, dia sudah berhenti menangis. Sekarang tengah duduk di kursi yang biasa dipakai mama untuk berdandan, sedangkan di depannya ada kedua orang tuanya yang menatapnya penuh tanya.

"Jelaskan, kenapa kamu pulang-pulang menangis!"

Ariel menaik turunkan kedua alisnya dengan mata tetap tajam menatap Oba.

Air mata Oba kembali menganak sungai, hendak mengeluarkan limbah sakit hatinya. Bibirnya bergerak-gerak tak nyaman, kadang di kulum dan digigitnya.

"Oba ditolak masuk geng Perfek, padahal kan kemarin Ibu yang tiba-tiba nemuin Oba, sampai lupa janji buat nunggu Bang Rasen."

Oba sudah menceritakan tentang Ibu yang kemarin menemuinya sepulang sekolah, juga hal yang dibicarakan ibunya.

Ariel memijat dahinya, lagipula dia tidak terlalu setuju untuk Oba ikut masuk geng. Walaupun ada anak sahabatnya di dalam geng itu, tapi kan tetap saja, karakter Oba sangat tidak cocok untuk bergabung dengan anak-anak itu.

Maunya setelah dia berbicara pada kedua anak itu kemarin, supaya mereka menerima Oba dengan mudah masuk ke dalam geng. Tapi rupanya, anak-anak itu terlalu serius tentang geng mereka. Seharusnya kan anggap saja Oba anak bawang. Tapi dia tidak bisa mengatur level geng dan kesepakatan yang sudah mereka buat dalam kelompok.

"Jadi apa! Jadi pelajar biasa saja ya Nak, tidak usah pedulikan geng-geng seperti mereka."

Oba mencebikkan bibirnya, sebenarnya bukan gengnya yang penting tapi dia hanya ingin punya pawang. Kalau ia bergabung dengan geng Perfek, Raden dan kawan-kawannya pasti tidak akan berani mengganggunya lagi.

Tapi sekarang pupus sudah harapannya.

"Kalau gitu, daftarkan Oba ke klub taekwondo tempat Nawfal belajar ya."

Sudah hampir 5 tahun sejak Nawfal masuk ke klub taekwondo, tepatnya saat dia masih menginjak sekolah dasar. Sekarang Nawfal agak jarang datang ke klub itu, apalagi setelah dia mengikuti kelas bulu tangkis di sekolahnya.

Dulu Oba juga ikut masuk klub taekwondo bersama Nawfal, tapi ya itu, setelah satu Minggu dan baru disuruh belajar adu pukul dengan lawan saja sudah menjerit-jerit. Oba merasa saat berhadapan dengan lawan, wajahnya akan hancur karena pukulan.

Padahal tangan lawannya yang juga kecil tidak sampai ke wajahnya, karena memang sama-sama pemula. Kaki tidak tegap, tangan bengkok, tapi Oba tetap merasa anak perempuan yang menjadi lawannya saat itu akan membuatnya babak belur.

Nawfal yang pada saat itu sudah menang melawan lawannya, hanya bisa menatap kakaknya bingung. Pelatih lalu menelepon Ariel untuk membawa Oba pulang karena anak itu tak mau berhenti menangis.

Ariel menatap dengan pandangan tak terbaca, memutar matanya dan melirik sang istri.

"Kamu tidak takut dipukuli lagi?" Tanya Syarin dengan senyum main-main. "Masih ingat tidak waktu umur 11 tahun, kamu menangis dan berhenti karena hendak dipukul lawan yang notabenenya seorang anak cewek."

Oba menggaruk dagunya sambil memutar bola matanya. Sekarang dia sudah tidak takut lagi, berkat Raden yang sudah membuatnya babak belur ratusan kali. Dia menghela napas, "Oba sudah tidak takut lagi. Sekarang Oba mau serius belajar bela diri, jadi kalau ada yang mau adu tinju, Oba bakal habisin dia." Matanya sedikit berkobar ketika mengatakan itu.

Masalah Raden yang sedari kecil suka jail, saat masuk SMP suka mengerjai juga mengejeknya dan saat SMA sekarang ia berkali-kali dipukul oleh Raden. Dia tidak pernah memberitahu siapapun, lagipula orang tua Raden yang notabenenya kakak dari mama Syarin adalah orang baik. Kerap kali ia diberi hadiah oleh Bibi Delia-mama Raden. Dan perilaku Raden di rumah adalah anak baik-baik yang tidak terlihat suka merundung orang lain.

Oba juga merasa sedikit segan. Mama sangat baik padanya, padahal ia bukan anak kandungnya dan ia juga mengerti bahwa ibu hanyalah sosok masa lalu yang menjadi aib tersembunyi dalam keluarga. Tapi mama Syarin sudah berbaik hati mengumandangkan dirinya sebagai anak sulung, bukan Nawfal. Jadi selain keluarga, tidak ada yang tahu latar belakang hitamnya.

"Aneh. Lagipula siapa yang mau ngajak kamu berantem, bilang ke Papa, nanti Papa suruh Nawfal yang hantam anaknya."

Syarin menampar lengan Ariel, sambil menggelengkan kepalanya. Dia lalu menatap Oba dengan lembut, "jelaskan dulu coba. Alasan kenapa Oba mau belajar taekwondo, padahal dulu nggak suka. Memangnya ada yang mengganggu Oba di sekolah?"

Oba tidak langsung menjawab, matanya berputar acak sambil berpikir dengan wajah melas. Bulu matanya bergetar seiring kelopak matanya yang bergerak bingung.

"Benar ada yang ganggu kamu?" Tanya Ariel sambil melebarkan matanya saat melihat Oba yang seperti bingung mencari alasan.

"Tidak Papa," elak Oba sambil menggelengkan kepalanya. "Belajar bela diri buat anak cowok kan wajar, apalagi dunia luar tidak bisa ditebak. Banyak kejahatan yang tidak bisa diprediksi bisa terjadi pada kita atau orang yang berada di dekat kita, kan Oba barangkali bisa menolong."

Ariel menyipitkan matanya, "kamu sebelum ngomong ini, pasti research google dulu kan! Sok-sok an mau jadi pahlawan."

Wajah Oba langsung cemberut, dia melompat ke Ariel dan dengan kepalanya dia memukul dada sang Papa. "Papa ngeselin ah," teriaknya.

Ariel tertawa, dia berbalik yang membuat Oba jatuh ke kasur. Pria yang akan mencapai kepala empat itu lalu menggelitik perut Oba dengan tangan besarnya.

Oba tertawa keras karena kegelian.

"Rasain, aneh-aneh saja mau belajar taekwondo."

Riama yang sudah berumur 10 tahun bulan lalu, kini baru keluar dari kamarnya. Dia pergi ke ruang makan tapi tidak ada orang, jadi dia berlari ke kamar orang tuanya. Sesampainya di kamar orang tuanya, matanya kaget melihat kakak tersayangnya di kamar ini juga.

"Wah, lagi seru nih."

Anak perempuan itu langsung berlari ke kasur, tidak lupa melepas sandalnya dan ikut bergabung menggelitik kakaknya, kan jarang-jarang.

"Ya, bagus Riama. Bantu Papa mengeluarkan roh jahat dari badan kakak kamu, masa pulang-pulang nangis terus minta aneh-aneh," ujar Ariel masih semangat mengerjai Oba.

Oba terengah-engah sambil terus tertawa, "sudah! Sudah! Ha ha ha."

"Iyakah Pa. Baguslah, tertawa itu vitamin Kak." Riama tertawa senang dengan jari kecilnya berputar-putar di dada Oba.

Oba berteriak dengan badan bergerak tak tentu, dia tidak tahan karena perut dan dada yang tentunya bagian sensitifnya.

"Mama! Mama tolong Oba," jeritnya sambil membalikkan tubuh. Tapi tetap saja, bahkan setelah ia tengkurap, tangan Ariel berpindah ke samping perutnya.

"Astaga." Syarin lagi-lagi memijat dahinya, dia tidak bisa apa-apa, biarlah sedikit kejam pada Oba. Biar untuk Ariel healing melepaskan beberapa beban pikirannya, lagipula pria itu pasti tahu kapan berhenti. Dia berdiri dari kasur, "Mama keluar dulu ya, mau menyiapkan makan siang."

Saat sampai di daun pintu, Syarin berbalik dan mengingatkan suaminya. "Pa! Jangan kelewatan." Lalu ia benar-benar pergi ke dapur.

Kelopak mata Oba mengeluarkan air mata fisiologis karena banyak tertawa. Dia lalu berteriak, "Huwaa! Kakak bikin sop ya kamu, Riama."

Tentu saja Riama tertegun sejenak, sebelum melanjutkan aksinya. "Roh dalam tubuh Kakak, sadis sekali."

Ariel kembali tertawa dibuatnya, dia lalu manarik Oba duduk dan memeluk kedua anaknya dengan sayang. Menyudahi aksinya menindas Oba.

"Sayangnya anak Papa."

Wajah Oba yang merah makin cemberut, napasnya masih tidak teratur tapi tidak menolak dekapan sang papa. Dia menoleh dan menatap Riama yang berada di sampingnya, menempel ke lengannya karena cara memeluk Ariel dari belakang.

Riama langsung nyengir, "sayangnya Kakak Riama." Lalu dia memeluk Oba dengan lengan pendek dan gemuknya.

Oba menghela napas, pasrah akan nasibnya yang sudah dikerjai.

.
.
Bersambung
.
.

Perutku sakit ikut ketawa.
Ha ha ha ha.

OBATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang