12. Hari Menyedihkan

2.1K 247 15
                                    

...

Keesokan harinya, Oba berangkat pagi-pagi sekali. Setelah menaruh tas di kelas, dia segera berlari ke arah tangga menuju lantai dua. Lalu berdiri diam menunggu geng Perfek muncul, untuk menuju kelas tentunya harus melewati tangga ini. Kakinya bolak balik naik turun di tangga, perasaan ngeri terus menggelitik perutnya.

Habis riwayatnya jika Rasen tidak memberikan ia kesempatan kedua. Ini semua gara-gara ibunya yang muncul tiba-tiba, hingga ia lupa pada janji itu. 

Dia mengangguk sopan kalau berpapasan dengan kakak-kakak kelas, sadar kebodohannya ia berdiri diam di tangga atas. Biar kalau melihat Rasen datang, dia bisa menyiapkan diri.

Oba menghembuskan napas keras dan memejamkan matanya mencoba untuk tenang, sungguh rasanya ia tidak mau menghadapi kenyataan ini.

"Ini bocahnya."

Oba sontak menoleh, terlihat Rasen dan para enteknya tengah menaiki tangga. Dia meneguk ludah saat bertemu pandang dengan mata tajam Rasen.

"Hay, Bang." Dia mencoba tersenyum tapi jatuhnya seperti meringis.

Gadri maju selangkah dan menarik Oba untuk menjauh dari Rasen yang menaiki tangga dengan wajah datar.

"Kenapa Bang! Oba mau minta maaf sama Bang Rasen."

Mereka turun dari tangga dan pergi ke lorong toilet lantai dasar. Gadri baru melepas pegangannya saat Oba berada di hadapannya. "Kamu tahu apa salah kamu?" Tanyanya sambil memasukkan satu tangan ke saku celana.

Oba menghela napas, "tahu. Oba salah, kemarin nggak nunggu di halte seperti kata Bang Rasen."

"Bagus kamu tahu, jadi mulai sekarang kamu tidak perlu menemui Rasen lagi. Geng kita nggak bakal terima calon anggota yang tidak bisa memenuhi perintah ketuanya, apalagi kemarin penentu kamu bisa masuk ke geng kita. Tapi kamu diminta tunggu di depan halte saja tidak bisa," ketua Gadri sambil menggelengkan kepalanya tanpa harapan.

"Itu saja kesempatan saat Rasen mau memberi kamu tantangan karena aku yang memaksa dia, coba kalau papa nggak minta aku dan Rasen ke rumah kamu buat ngomong sama Papamu ... kamu nggak akan ada kesempatan buat jadi calon anggota geng Perfek."

Mendengar ocehan Gadri yang memarahinya, dari hati kecilnya, Oba merasa sangat kesal. Merasa apa yang diinginkannya selalu tidak sesuai harapan. Salah siapa dong.

"Oba nunggu di halte, cuma keduluan ibu yang datang terus ngajak Oba ngobrol di kafe sampai Oba lupa ada janji."

Beberapa siswa yang masuk ke dalam toilet sesekali melirik mereka, apalagi kehadiran Gadri di toilet kelas X.  Gadri menyipitkan matanya tidak mengatakan apa pun. Dia melengos saat menatap mata bulat berkaca-kaca Oba yang memandangnya penuh harap, berharap lepas dari ancamannya.

"Ya sudah, mau diapakan. Sekarang aku peringatkan untuk kamu berhenti, jangan berharap bisa masuk ke geng Perfek. Kami nggak punya waktu mengurusi satu dua orang seperti kamu, jadi fokus belajar saja di sekolah ini. Oke."

Setelah mengatakan itu, Gadri langsung pergi sambil setengah berlari kembali menaiki tangga.

Oba mengguncang kakinya kesal, mengentak-entak di tempat membuat suara benturan antara sepatu dan lantainya terdengar kasar. Dia bersungut-sungut di dalam hati, menyumpahi Gadri dan Rasen yang terlalu ketat.

"Bilang saja mereka tidak mau menerima anggota yang bertubuh pendek sepertiku kan! Tidak punya bakat bela diri, lemah, bodoh. Iya kan!" Tangannya mengepal dengan mata menajam. "Jangan bilang anak geng baperan, masa langsung marah gara-gara aku nggak menepati janji kecil itu." Napasnya naik turun dengan irama cepat. Rasa kesal dan kemarahannya menumpuk di hati.

"Ou, ou ada siapa ni yang nungguin kita!"

Oba membatu ketika mendengar suara satu-satunya jin nyata yang selalu mengganggunya. Dia mendongak.

"Aku lagi nggak mood ya!" Peringatnya.

Raden menganggukkan kepalanya. "Woh, lagi nggak mood. Kita juga lagi nggak mood ya, nggak!" Lalu dia tertawa pongah diikuti dua temannya yang bertepuk tangan.

Dia lalu menarik Oba masuk ke dalam toilet dengan paksa dengan dua temannya menjaga pintu luar. Melarang siswa-siswi lain masuk.

...

Di sisi lain Dian dengan tas tangan kecil mendatangi rumah Ariel.

Pak Udi datang dengan cepat saat melihat kehadiran seorang wanita di depan pagar. "Ada yang bisa dibantu Bu!" Tanyanya.

Dia tersenyum kecil, lalu berujar. "Em, ini betul kan rumah pak Ariel dan nama anaknya Oba."

Mendengar wanita asing menyebutkan nama majikan dan kakak, membuat pak Udi melepaskan sedikit kebingungannya. "Iya betul, ada perlu apa?"

"Saya ibunya Oba. Saya datang ke sini untuk bertemu dengan pak Ariel."

Pak Udi tentu sangat terkejut, dia memang tahu jika Oba adalah anak pak Ariel dari luar. Tapi tidak menyangka ibu Oba akan datang ke rumah ini, apalagi sekarang ada Bu Syiran di rumah.

Tapi karena tamunya adalah Ibu kandung Oba—kakak, maka dia dengan baik membawa Dian ke depan rumah untuk menunggu. Pak Udi langsung masuk ke rumah untuk memberitahu Bu Syiran.

Syiran tengah berada di halaman samping, menyiram bunga-bunga miliknya dan memberi makan ikan hias di kolam.

"Bu! Bu!"

Suara Pak Udi tergesa-gesa memanggilnya, seperti ada kabar buruk yang dia sampaikan.

"Aduk Pak Udi, kenapa sih! Ada apa?"

"Gawat Bu. Di depan ada wanita yang mengaku ibunya Oba dan mau ketemu sama pak Ariel."

"Apa!!"

Mata Syiran membeliak kaget, kenapa bisa tiba-tiba wanita itu datang ke rumah ini. Dia membuang napas dengan perasaan tak tenang. Bibirnya mengerucut kesal.

"Kamu Sekarang ke depan, bawa dia masuk ke ruang tamu. Suruh tunggu di sana, minta juga mbak buatin minum terus kamu temani ngobrol. Saya mau hubungi Pak Ariel-nya dulu," ujarnya panjang lebar lalu berbalik menuju ke kamarnya.

Pak Udi terpaku, "loh, Bu! Tamunya nggak disambut." Dan dia hanya mendapat tatapan tajam dari nyonya majikannya yang biasanya baik dan lembut. Pak Udi merinding, ia lalu mengerjakan tugasnya.

Syarin masuk ke kamar dan menelepon suaminya yang saat ini sedang bekerja dengan sepenuh hati agar istri dan anaknya berkecukupan. Setelah Ariel menjawab teleponnya, dia dengan cepat mematikan sambungan. Lalu mengetik dengan cepat untuk memberitahu masalah di rumah dan mengirimkannya pada Ariel. Dia tidak mau berbicara langsung untuk meminta Ariel pulang karena ada ibunya Oba datang. Dia takut darah tingginya semakin naik.

...

Oba bangkit dari duduk terpaksa-nya di dalam toilet, baru saja setelah Raden puas memukulinya, jin satu itu langsung pergi. Dia mendesis keras, perutnya sakit, dadanya sakit dan kakinya sakit. Semua sakit kecuali wajahnya. Memang pintar si Raden, wajahnya yang manis ini tidak dibuat lecet karena takut buktinya terpampang nyata.

Oba mencuci tangannya di wastafel dan menatap matanya sendiri di kaca, saling memberikan pandangan tajam mematikan hingga ia lelah sendiri.

"Bahkan jika mataku keluar dari tempatnya, itu tidak akan membuat orang-orang takut." Oba menampar kaca di depannya. "Kenapa!"

Dia mencuci mukanya berkali-kali berusaha menyegarkan kegerahan hatinya.

"Kenapa hari ini menyedihkan sekali! Huaa." Oba mengambil air lagi untuk membasuh wajahnya, mau ditaruh di mana wajahnya jika ada yang tahu sekarang ia tengah menangis.

.
.
Bersambung.
.
.


Sabar Oba, ini ujian.

Pagi semwuawah.



OBAWhere stories live. Discover now