18. Ibu datang lagi

1.2K 138 5
                                    

Oba menyilangkan kedua tangannya di depan dada, dengan tubuhnya setengah bersandar di ranjang kamar rawatnya. Mulutnya bergerak-gerak mengunyah buah apel yang disuap oleh Riama.

Setelah sepuluh menit mendapatkan penanganan dari dokter selepas sampai di rumah sakit, pusing di kepala Oba sudah benar-benar reda. Menyisakan badannya yang sedikit panas, dan kemanjaan remaja itu meningkat.

Sebagai orang yang tadinya paling semangat kakaknya sakit, Riama harus menjadi korban sebagai pengasuh Oba. Gadis kecil itu berusaha pasrah ketika Oba bersikap manja, entah minta dipijat atau disuap.

"Tadi Riama lihat ada taman di rumah sakit ini, rencananya Riama mau ke sana. Tapi Kakak kok nggak mau ditinggal sendiri," kata Riama menelungkupkan kepalanya di ranjang Oba.

Oba menelan buah apel yang sudah dihancurkan giginya, lalu melirik Riama dengan jengah. Gadis kecil ini pasti banyak maunya, tidak bisakah diam sebentar. Bisa-bisa nanti dia yang sakit harus mengawasinya main ke taman.

"Nggak usah. Taman sama saja kok, di belakang rumah kita juga ada taman keluarga."

Riama mendongak, "beda lah Kak. Sekarang aku tuh, lagi bosen. I am bored."

"Nggak bisa. Ayo lagi suap! kakak mau makan buah lagi."

Perdebatan kecil itu tetap saja dimenangkan oleh Oba. Remaja itu adalah pion kecil yang tidak bisa digeser kedudukannya. Bahkan Riama si kecil pun harus mengerti, itu alami bukan karena paksaan. Di keluarga mereka tidak ada yang bisa memaksakan kehendak Oba yang bulat.

Setelah lima menit berlalu, dua orang suster masuk untuk mengantarkan Oba makan siang. Otak kecil Riama yang pintar langsung bergerak cepat.

"Kak! Aku minta temenin suster ke kantin ya, Riama mau makan juga."

Oba mengambil makanan dari suster lalu berteriak, "nggak boleh Riama. Makan sama Kakak saja ini."

Tapi Riama tetap melangkah pergi keluar kamar rawat sambil menggandeng suster yang lugu. Oba merasakan kekesalan bukan main. Habis dirinya dimakan kebosanan kalau Riama pergi.

Setelah setengah jam, Riama belum juga kembali. Rasanya Oba ingin mencak-mencak. Remaja itu memasang wajah cemberut bak apel busuk. Bahkan dia harus makan buah apel tanpa dikupas lagi. Sialnya.

Suara pintu terbuka membuat Oba langsung menoleh dengan tatapan tajam, tapi seketika berubah menjadi terkejut kala melihat sosok ibunya yang muncul.

"Nak! Kamu baik-baik saja kan, pas Ibu tahu kamu sakit, Ibu panik banget."

Dian mendekat dengan wajah penuh kekhawatiran, tangannya langsung terangkat mengelus wajah Oba. Lalu memeluk darah dagingnya itu dengan penuh kasih sayang. "Ibu rindu."

Oba terdiam bisu.

Lagi-lagi ibunya menangis di depannya, mengatakan rindu dan ingin dirinya kembali bersamanya. Tapi bagaimana bisa. Lima tahun bukan waktu singkat, baginya itu adalah masa-masa terbaik dalam hidupnya. Jika dulu Ibu tetap memilih membesarkannya, mungkin mereka akan masih menjadi keluarga yang tak terpisahkan. Tak mungkin ia harus melepaskan kenyamanan yang sudah ia peluk erat-erat.

Tapi hatinya juga berdenyut untuk menyebutkan penolakan. Tidak sampai hati ia membuat ibunya menangis terus menerus.

"Maaf Ibu, itu tidak mungkin."

Dian melepas pelukannya. Menatap dengan mata penuh harapan pada Oba. "Nak! Sekarang Ibu benar-benar merasa sendiri. Ibu takut, Ibu butuh Oba untuk menemani Ibu. Semakin hari, ketakutan Ibu makin besar menyadari Ibu hanya tinggal sendiri di apartemen itu."

Oba memalingkan wajahnya, enggan untuk membalas tatapan mata Dian yang membuat kelu bibirnya.

"Oba tidak bisa."

Keduanya sama-sama terdiam, Dian beralih duduk di kursi yang tadi Riama tempati dan menggenggam tangan Oba. Masih ada desakan air mata yang keluar dalam diam. Bibirnya kering, pecah-pecah dan rambutnya yang seleher dibiarkan jatuh, terlihat sedikit kusut.

Ibunya tidak merawat diri. Membuat batin Oba makin tertekan.

"Jika tidak, bisakah Oba menginap beberapa malam di apartemen Ibu. Temani Ibu untuk beberapa malam ya Nak."

Oba menggeleng, "Oba tidak bisa memutuskan sendiri Bu. Oba sudah jadi anak Papa dan Mama. Oba tanggung jawab mereka." Dia ingin mengatakan jika keputusan apapun tidak bisa ia buat sendiri kecuali seizin kedua orang tuanya.

Dian mengangguk, "nanti Ibu akan minta ijin pada Papa kamu ya. Tapi kamu mau kan menginap beberapa malam di apartemen Ibu, ya, tolong temani Ibu."

Suara Dian yang lembut dan penuh kesedihan membuat Oba terjerat. Dia mengangguk tanpa suara.

Jadi ketika Ariel datang dengan membawa minuman boba, dia melihat sosok Oba yang sepertinya lagi melamun. Oba menatapi tangannya dengan kosong, sedangkan Riama tertidur di sofa dengan mulut sedikit terbuka. Seperti habis kekenyangan.

"Oba!" Panggil Ariel pelan lalu duduk di kursi.

"Eh, Papa! Akhirnya Papa datang juga, ayo pulang, Oba udah sehat lagi ini."

Ariel jadi urung berpikir jika Oba tengah ada apa-apa karena jarang-jarang melamun seperti tadi, tapi rupanya hanya lagi sawan saja, ini waras lagi.

"Ini Papa bawakan minuman kesukaan kamu. Itu adik kamu biasanya nggak pernah tidur siang."

"Nggak tahu, tadi habis dari main, aku ditinggal sendiri eh balik-balik capek sambil pegang perut terus tidur."

Ariel mengangguk saja. "Kamu benar! kepalanya sudah tidak sakit lagi?"

"Iya, udah nggak sakit lagi. Kayaknya demamku juga mau hilang, ini badannya cuma anget dikit doang."

Tinggal di rumah sakit beberapa jam saja ia sudah tidak tahan, apalagi harus menginap satu malam di sini. Repot juga buat keluarganya. Riama jadi nggak sekolah, Nawfal jadi kesiangan dan Mama juga harus minta maaf sama temen-temennya.

"Pokoknya Oba mau pulang," ujarnya.

Ariel melihat jam di pergelangan tangannya lalu berpikir sejenak, istrinya juga pulangnya jam 3 sore. Kasian kalau harus ke sini, mengambil perlengkapan dan menginap di sini. Dia menatap Oba dan berdoa agar anaknya itu benar-benar sehat.

"Ya sudah, papa menemui dokter dulu."

Oba mengangguk semangat dengan senyuman lebar. Dia beranjak setelah melihat Papanya keluar, lalu mendekati Riama yang tertidur. Dia menusuk minuman boba miliknya, mengangkat sedotan dengan menutup lubang atasnya. Lalu mengarahkannya ke arah bibir Riama. Baik sekali dirinya memberi minuman untuk adiknya yang tidur dengan mulut terbuka.

Airnya tidak banyak kok, takut Riama tersedak.

Bibir kecil Riama mengecap, tapi tidak membuat matanya terbuka. Melihat itu Oba tertawa, keenakan rupanya. Dia melakukannya berkali-kali, tapi tetap saja Riama tidak mau bangun juga.

"Adeuh ni bocah." Lalu Oba mencium pipi Riama selepas meminum es boba. Karena bibirnya yang basah dan dingin membuat Riama merasa terganggu.

"Kakaaak."

"Apa!"

"Kakak jangan ganggu Riama tidur," katanya kesal.

"Bangun! Kamu mau tinggal di sini gantiin kakak! Orang kakak aja mau pulang."

Riama bangkit. "Oh pulang."

Oba menggelengkan kepalanya.

Pada malam harinya, keluarga kecil Nazhief sedang menikmati makan malam.

Satpam rumah masuk ke dalam rumah, menyapa sopan pada majikannya. "Tuan! Ada ibu-ibu yang kemarin pernah datang ke sini, bertamu lagi."

Oba langsung menjatuhkan sendok yang dipegangnya. Ibu! Ibu benar-benar datang.

.
.
.
Bersambung.
.
.
.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 01, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

OBAWhere stories live. Discover now