10. Ibu

2.2K 303 2
                                    

Terima kasih kakak-kakak masih mau menunggu Oba.


***

       Di tangga tribun lapangan, Oba duduk ditengah-tengah banyaknya teman perempuan seangkatannya. Dia memegang buku catatan dengan pena hitam ditangannya, diantara mereka mengaku mengenal beberapa anggota geng Perfek. Peluang bagus untuknya bertanya-tanya banyak hal.

"Ada Kak Varul, Kak Lesmana, Kak Renda dan Kak Leo. Itu aja sih yang aku tahu selain anggota Geng Perfek yang menonjol."

Oba menggaruk dagunya sambil terus menulis nama-nama yang disebutkan cewek yang memakai bando pink di sampingnya.

"Setahuku ya, ada 12 anggota geng Perfek di sekolah ini."

Oba mendongak, menatap cewek berkacamata yang duduk di tangga atas. "Iyakah? Yah, ini baru ada 10 nama anggota, masih dua lagi dong." Dia menghela napas berat, kedua pundaknya layu.

Tiba-tiba bel sekolah berbunyi nyaring, mereka semua dengan malas beranjak untuk masuk ke kelas. Anak laki-laki yang tengah bermain basket juga dengan enggan menyimpan kembali bola orange itu dan dalam sekejap seluruh lapangan kosong.

Oba duduk memangku kepalanya, bibirnya diam-diam menghafal sepuluh nama yang didapatkannya. Kalau Rasen, Gadri, keduanya sudah dihafalnya di luar kepala, tapi sisanya masih perlu diusahakan.

"Varul, Renda, William, Alfa, Gerald, Lesmana, Leo, Loni, Gadri, Rasen. Huh."

Oba mengulangi sepuluh nama itu sekali lagi, sekali lagi, hingga membuat Radit menatap horor teman sebangkunya itu. Menyangka Oba tengah melafalkan jampian untuk ke sepuluh nama itu sampai diulang berkali-kali.

Tiga orang tersedak secara bersamaan, itu Leo, Loni dan Renda. Sepertinya pertahanan diri mereka lemah, baru lima kali Oba ulang sebut namanya mereka sudah tersedak keras.

Gadri melirik ketiganya dengan aneh, bahkan guru di depan kelas mengangkat kacamatanya, memastikan ketiga muridnya itu sedang tidak main-main karena batuk secara bersamaan. Dia berdeham untuk membuat siswa yang lainnya tetap fokus mengerjakan tugas dan melirik tajam pada ketiganya.

Loni berdeham kecil sambil menggaruk tenggorokannya, entah kenapa dia merasakan gatal yang memaksanya untuk batuk. Dia melirik dua anggota geng Perfek lain yang juga batuk, mereka saling memicing. 'Kau mengikuti ku batuk 'kan?'

Di kelas sepuluh, Oba menulis di bukunya tapi pikirannya masih tertuju pada tiga nama yang selalu ia lupakan, itu Loni, Leo, dan Renda. Ada kebetulan di dunia ini.

Lama-kelamaan dia jadi mengantuk, tapi guru di depan masih sibuk mendikte. Tidak sopan baginya tertidur ketika guru sedang menjelaskan dengan segenap hati, berdosa dia menyia-nyiakan ilmu. Oba duduk tegak, kepalanya menggeleng pelan untuk membuyarkan nama-nama membosankan itu dan fokus menulis.

Ketika waktu tinggal setengah jam lagi, guru memberikan tugas untuk dikerjakan dan harus selesai sebelum bel. Oba tidak sibuk mencari lagi, dia hanya mengintip jawaban Radit yang diyakini 100% benar. Nyatanya memiliki teman sebangku seperti Radit tidak begitu menyebalkan.

Saat pulang sekolah, Oba bergegas ke gerbang sekolah dan berjalan ke halte bus. Dia duduk manis menunggu kedatangan Rasen. Walaupun dua nama anggota geng Perfek tidak dia dapatkan, tapi apa pun itu harus dia hadapi demi hidup sejahtera. Ia muak diganggu Raden terus menerus.

"Oba."

Suara lembut seorang wanita terdengar dari atas kepalanya. Oba mendongak, lalu tertegun dengan senyum membatu. "Ibu!"

Dian mencetak senyum kecil di bibirnya, menatap Oba dengan mata penuh kerinduan. Sudah 5 tahun dirinya tidak menemui Oba setelah dirinya menikah lagi, tepatnya setelah satu tahun Oba tinggal bersama Ariel.

Beberapa menit kemudian, sebuah mobil hitam sedan berhenti di depan halte bus. Jendela mobil terbuka, menampilkan sosok Rasen yang alisnya berkerut tajam dengan mata acuh tak acuh.

"Kenapa bocah itu tidak ada! Padahal jelas diminta untuk menunggu di sini." Kepala Gadri muncul dari jendela kaca belakang, celingak-celinguk mencari keberadaan Oba.

Tangan Rasen yang menggantung di luar mengetuk jarinya ke badan mobil, "dia melalaikan permintaanku. Sepertinya bocah itu hanya main-main, kalau karena bukan Papanya meminta, aku bahkan tidak peduli dengannya," ucap Rasen ketus.

Gadri menggaruk kepala belakangnya, gatal memikirkan bocah itu yang tadi sangat antusias ingin bergabung. Tapi ketika diminta menunggu, dia malah tidak kelihatan. Rasen pasti sangat marah sekarang, mungkin sudah menganggap Oba meremehkannya. 'Bocah itu kemana lagi!' rutuk Gadri kesal.

"Jalan Bang," pinta Rasen pada Bang Ikal.

Ikal tidak mengatakan apa pun, dia dengan patuh melajukan mobil dan tidak memedulikan aura suram Rasen yang sedang naik darah. Dibalik menjadi sopir Rasen sang ketua geng Perfek, Ikal adalah seorang manajer di sebuah tempat pencucian mobil yang sukses.

Dulu dirinya seorang pengangguran tidak jelas, tiba di hari itu ketika melihat beberapa siswa tengah tawuran, Ikal dengan sukarela bergabung dan kebetulan membantu geng Perfek untuk menang. Setelah hari itu, pada hari lain, saat dirinya dikepung penagih hutang.

Rasen bak super hero datang membantunya menghindar dari babak belur. Setelah sedikit perbincangan, akhirnya Rasen mengajak Ikal untuk mengelola tempat pencucian mobil milik kakeknya yang akan gulung tikar.

Begitulah singkatnya Ikal menjadi manajer dan bergabung ke geng Perfek. Karena dia orang yang pendiam dan kaku, Ikal tidak banyak berinteraksi dengan anggota geng Perfek kecuali menawarkan menjadi supir tetap Rasen.

Di sebuah restoran besar dengan dinding kaca yang membuat pelanggannya bisa menikmati makanannya sambil menatap keluar. Di bagian paling kanan, dekat tanaman hijau sepinggang. Di meja nomor 07, Oba duduk berhadapan dengan Dian.

Remaja itu terlihat sedikit gelisah, tapi matanya tak beralih dari wajah sang Ibu yang sudah 5 tahun tak dilihatnya.

"Ibu kok kurusan?" Tanya Oba setelah menelisik dan mengingat sosok Dian yang dulu. "Rambut panjang cantik yang Ibu bangga-banggakan kok dipotong juga?"

Dia dulu jelas sangat menghargai mahkota kepalanya yang panjang dan hitam terawat itu, tapi sekarang rambut itu menjadi pendek seleher dan terlihat agak kusut.

Dian berusaha tersenyum lebar, matanya yang sedikit berair menatap Oba penuh kasih. "Ya, Ibu sekarang suka rambut pendek." Dia menghela napas dan mengambil tangan kanan Oba untuk digenggamnya. "Oba bahagia ya tinggal sama Papa!"

Oba menatap tangannya sekilas, dia menghela napas pelan. "Jika dipaksa itu akan menjadi biasa dan lama kelamaan berubah terbiasa. Jadi tentu saja 5 tahun cukup membuat Oba nyaman dan bahagia tinggal dengan Papa, Mama dan saudara-saudariku."

"Heh," dengkus Dian semakin tersenyum lebar dengan menganggukkan kepalanya setuju. Dia membuka mulutnya tapi kembali menutupnya, urung untuk mengatakan sesuatu dengan mata bergerak linglung.

"Ibu akan menetap di sini, tinggal di dekat kamu. Ibu juga sudah sewa apartemen di dekat sekolah kamu, biar jarak kamu pergi ke sekolah tidak terlalu jauh."

Semakin Oba mendengarkan ucapan ibunya, alisnya menjadi berkerut kasar. Dalam lima tahun ini, ia terkadang teringat dengan sosok ibunya, membuat lobang rindu melebar di hatinya. Tapi ketika sang ibu sudah berada di depannya, dia tidak tahu bagaimana menyampaikan rindunya.

"Apa maksud Ibu?"

Dia memang rindu ibu, tapi tidak ingin keluar dari zona nyamannya. Ya, dia sudah terlalu nyaman dengan kehadiran papa dan yang lain disisinya.

"Kamu kembali tinggal dengan Ibu ya Nak," pinta Dian dengan suara lembut seperti penuh pengharapan.

•To be continue•

..
..
..

Tahan napas, saya masih ada hutang 12 ribu kata di Fizzo. My Time, Baby. Akhir bulan semoga Oba bisa up setiap hari. Fighting!!!







OBAWo Geschichten leben. Entdecke jetzt