7. Geng

4.2K 387 11
                                    

Tarik napas.

°°°°
°°
°°°°

    Sebelum pukulan Oba sampai, perutnya lebih dulu ditendang dari samping, membuatnya kembali tersungkur. Jarinya berkerut di tanah. Kalau sudah dikeroyok, sehebat apapun orang itu jika tidak beruntung tidak akan bisa menang.

Oba menyesali dirinya sendiri yang selama ini diam dibawah penindasan Raden, karena dia pikir Raden akan lelah sendiri. Tapi bukannya berhenti dari hari ke hari Raden semakin semena-mena. Apalagi uang jajannya juga akhir-akhir ini selalu diambil paksa olehnya.

Raden menendang tubuh Oba beberapa kali, dia mengambil uang disaku Oba lalu pergi dengan suara tawa yang membuat telinga Oba semakin memerah darah.

"Persetan," bisik Oba. Kata-kata yang biasanya tidak pernah dia ucapkan kini dengan mudah terlampir dari bibirnya. Matanya mengedar ke sekeliling pada beberapa siswa yang melihat kearahnya, tanpa ada yang mau menolong. Raden itu seperti ngengat, sekali berurusan, susah untuk dilepaskan. Tidak ada yang mau mengambil risiko.

Di kantin, Oba duduk di meja sudut dengan semangkuk bubur ayam di depannya. Untung saja dia hari ini menyimpan uang di salah satu bukunya, kalau tidak bisa kelaparan dia seperti hari-hari sebelumnya.

Dulu saat dia semasa SMP, ada Nawfal yang bisa menjadi pawangnya agar Raden tidak sering mengganggu. Sekarang ketika dia masuk ke jenjang sekolah menengah atas, dia benar-benar sendiri dan menjadi bulan-bulanan Raden. Nawfal masih berada di kelas 3 SMP karena dia memang umurnya lebih muda dari Oba.

"Kakak-kakak kelas yang termasuk geng Perfek, semuanya ternyata ganteng-ganteng deh. Katanya mereka bukan sembarang geng, bukan juga geng motor seperti anak berandalan. Tapi geng elit yang khusus untuk nongkrong. Selain itu juga, kabarnya kakak kelas pun tidak ada yang berani mengusik mereka ketika Geng Perfek dinyatakan resmi. Coba aja kita bisa seangkatan sama mereka."

Telinga Oba berkedut. Geng! Kelompok remaja! Gerombolan! Seketika matanya berbinar. Benar. Dia seharusnya juga membangun sebuah geng, mencari pengikut seperti kacung-kacungnya Raden.

Sudut bibir Oba berkedut, dia harus segera beraksi.

"Apa! Geng? Lo ketuanya? Gila."

Oba tercengang mendapat penolakan langsung dari teman sekelasnya ketika mereka bertemu selepas dia dari kantin. Dia berpangku tangan.

"Dasar lu, diajak masuk geng gua malah nolak, ngatain gua gila lagi." Dia mengoceh melihat teman sekelasnya itu melenggang pergi. "Gua yakin pasti ada yang mau satu geng sama gua," monolognya pada diri sendiri.

Oba kembali ke kelas, targetnya kali ini adalah teman sebangkunya.

"Radit kamu tahu tidak jaman sekarang anak-anak remaja terkenalnya dengan geng-geng." Dengan akrab Oba merangkul pundak Radit, sedangkan sang empu mengangkat kepalanya dengan tangan membenarkan letak kacamatanya.

"Apa sih Oba! Aku masih sibuk belajar nih."

Oba tidak memikirkan jika anak seperti Radit tidak akan mungkin diajak untuk menjadi bagian geng, walaupun niatnya tidak untuk yang buruk, tapi perkumpulan remaja seperti itu biasanya jarang yang baik-baik.

Sambil memangku dagunya, Oba mendengkus kesal. Kenapa susah sekali mencari orang yang mau menjadi anggota gengnya? Memangnya dia ini tidak masuk kriteria menjadi ketua geng.

Oba mengeluarkan ponsel canggihnya dan kedua jari jempolnya mengetuk cepat layar ponsel. Bertanya pada google apa saja kriteria seorang pemimpin geng.

Setelah dua menit, dia mendengkus keras. Artikel yang tidak terlalu memuaskan. Tidak semua pemimpin geng itu harus sangar atau lebih menonjol, karena kadang ada kata suhu dibalik cupu.

OBAWhere stories live. Discover now