5. Kenapa?

4.2K 454 4
                                    


Setengah jam kemudian, Oba keluar dari bak mandi seperti anak bebek yang terguyur hujan, kuncup dengan bulunya yang kuyup.

Dia mengitari kamar sambil menunggu badan dan rambutnya kering, takut untuk membasahi pakaian bagus yang akan dipakainya.

"Aku sudah lama sekali tidak sekolah, Pak Guru marah tidak ya!"

Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka.

"Loh kok belum pake baju!"

Oba tersentak, dia melotot kesal. "Papa bikin kaget aja."

Ariel tersenyum kecil, dia menutup pintu kamar dan mengambil satu handuk lagi untuk mengeringkan rambut basah Oba. "Kalau habis mandi, rambutnya juga harus cepat dikeringkan."

Terdengar gumaman suara Oba dibalik handuk yang menutup kepalanya. Merasa tidak ada air lagi di kepala Oba, Ariel kembali menggantung handuk abu-abu yang berukuran sedang.

Ariel mengajak Oba duduk berhadapan di atas kasur, dengan bocah itu masih mengenakan handuk. Matanya menatap lamat sosok kecil yang tidak diduga-duga akan muncul, bahkan berfikir dia hidup pun dirinya tidak. Ada perasaan tertusuk jarum disudut hatinya ketika melihat Oba, dan berfikir betapa kejamnya wanita itu. Dia adalah laki-laki yang sulit jatuh hati, sosok pemilih yang tak mudah nyaman dengan orang-orang. Tapi wanita kejam itu, entah dengan cara apa dia bisa membuatnya nyaman, membuatnya ketergantungan dan merasa beruntung karena saling bertemu.

Ia tidak pernah berfikir jika wanita itu juga sama dengan wanita lainnya yang mementingkan materi diatas segalanya. Hidup susah sedikit tak mengapa, tapi nyatanya wanita itu tidak bisa menahan sebentar saja.

"Nanti akan banyak datang orang-orang dari keluarga Papa dan Mama. Banyak orang tentu banyak pendapat, di sini Papa mau mengingatkan kamu untuk tidak mengambil hati perkataan orang-orang yang memojokkan kamu. Kamu tidak salah, kamu juga berhak punya keluarga, kamu tidak salah ingin tinggal bersama Papa."

Oba menunduk. Ia tidak berpikir untuk tinggal bersama Papa, tapi ibunya yang memaksa. Namun saat melihat sosok papa yang tampan, baik dan perhatian seperti ini, dia juga ingin terus tinggal di keluarga ini. Biar saja Ibu marah, salah sendiri jahat padanya. Tapi jujur saja, dia tengah merindu sang ibu.

"Iya, Oba mengerti."

Ariel mengangguk, "maafkan Papa yang tidak ada saat Oba tumbuh sebesar ini. Sekarang kamu sudah di sini, Papa ingin tahu segala tentang kamu. Contohnya, Oba kelas berapa! Oba suka makanan apa! Oba hobi apa! Oba suka warna apa! Cita-cita Oba jadi apa?"

"Huh!" Oba menatap polos pada wajah penuh pertanyaan Ariel. Apa dulu yang harus ia jawab! Apa tadi pertanyaannya?

Ariel tertawa melihat wajah kebingungan Oba. "Ya sudah nanti saja jawabnya, biar Papa tuliskan di kertas. Sekarang kamu pakai bajunya, nanti masuk angin. Setelah siap, langsung temui Papa ya."

Sat, set, sat, set. Oba telah mengenakan baju kemeja tangan pendek serta rompi kecilnya dan celana kain warna senada, biru muda. Ya walaupun celananya sedikit kepanjangan. Tapi ini pertama kali dirinya memakai pakaian bagus, yang membuatnya terlihat seperti elit kecil.

"Rambutku perlu disisir," katanya saat melihat sosoknya di kaca. Rambutnya seperti sarang burung yang sudah jatuh lalu dikembalikan lagi ke tempatnya.

Singkat cerita, Oba berjalan keluar dari kamar. Dia melihat ke ujung tangga dan melihat Nawfal yang hendak turun bersama Riama. Dia sontak tersenyum dan menunggu di undakan tangga terakhir sambil menggosok-gosok pegangan tangga dari kayu yang licin.

Matanya menatap berbinar pada sosok Nawfal yang tinggi dan tampan, kira-kira makan apa selama ini gerangan.

Binar matanya pudar ketika mendengar Riama berkata kepada Nawfal. "Aku tidak mau punya kakak lagi." Bibirnya mengerucut, sepertinya Riama tidak menyukainya. Sepertinya besok dia harus membeli permen untuk Riama, karena biasanya anak kecil suka diberi permen, setelah itu pasti Riama akan menyukainya. Hehe, Oba tersenyum miring.

"Anak-anak ayo cepat ke depan."

Teriakan Syiran membuat ketiga bocah yang tengah bertatap-tatapan itu langsung melangkah ke ruang tamu untuk sampai ke pintu utama.

"Ayo, mereka semua sudah datang, kita ke depan sambut sama-sama."

Oba mengikuti dua saudara tirinya dengan patuh berdiri di sisi pintu, tepat bersisian dengan Ariel yang berada di luar pintu. Dia melihat banyak orang yang turun dari mobil dan berjalan mendekat. Bersama ibu dia hanya punya ibu, sedangkan di sini Papa memiliki banyak keluarga. Dia disini bersama papa, lalu bagaimana dengan ibu yang sendirian. Matanya memerah dengan pikiran kecilnya.

"Alhamdulillah, kalian semua sampai dengan selamat."

Keluarga Ariel tidak tinggal satu kota, sedangkan keluarga Syarin masih sekota tapi dengan jarak cukup jauh. Pertemuan keluarga besar seperti ini kadang-kadang terjadi, karena biasanya anak-anak yang akan berkumpul ke rumah orang tua. Sekarang Ariel khusus mengundang semua keluarganya untuk sesuatu yang belum diketahui mereka.

"Ya, akhirnya kami bisa cepat sampai ke rumahmu, Bunda benar-benar tidak tahan duduk di pesawat." Wanita yang mengenakan pakaian abu-abu itu tersenyum lembut seraya memeluk lengan suaminya, mereka orang tua Ariel. Tiga saudara Ariel sepertinya sibuk dengan kehidupan masing-masing karena merantau, sama dengan Gani yang sekota dengan Ariel.

"Maafkan Ariel karena meminta kalian untuk datang, lain kali Ariel tidak akan membuat kalian bepergian jauh lagi."

Nazhief menggelengkan kepalanya, "jangan banyak bicara di depan pintu. Aku ingin segera duduk dan minum teh," katanya lalu melenggang masuk setelah menantu dan cucu-cucunya menyalami tangannya. Sepertinya dia melihat anak tidak dikenal, tapi mungkin itu cucunya juga.

Tidak lama kemudian keluarga Syarin akhirnya sampai, ada dua mobil yang masuk ke halaman rumah.

Oba melongok saat mendengar suara-suara bocah lain yang seperti baru dilepaskan setelah terpenjara. Ada tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan, juga ada 2 remaja laki-laki yang tinggi-tinggi.

"Halo Om dan Tante," sapa beberapa anak-anak itu. Setelahnya mereka berlari masuk ke dalam rumah.

"Jangan berlari di rumahku," sentak Nawfal dengan tajam saat mereka lewat.

Tiga anak laki-laki itu menjulurkan lidahnya, mengejek Nawfal.

"Maaf ya Nawfal, Riama. Kalian kan tahu saudara kami bandel," ujar anak perempuan yang rambutnya ikal panjang, mengenakan baju kemeja dan celana kain hitam.

Nawfal hanya bergumam.

Audrey melirik sosok Oba yang berdiri diam menatap kedatangan mereka, alisnya berkerut hendak bertanya siapa anak yang tidak dikenalnya itu. Tapi saat dia melihat rambut coklat Oba, kata-katanya tertahan di dalam mulut. Pasti ini alasan Om Ariel mengundang mereka semua.

"Ayo Audrey masuk," ajak anak perempuan berambut ikal.

"Loh kok Mama baru lihat anak kalian yang ini," kata Diah melihat ke arah Oba yang menatapnya dengan mata bulat.

Wino menata menantunya tajam, membuat Ariel sedikit gentar. "Ini alasan kamu mengundang kami semua?"

Ariel tidak membantah, dia dengan ramah mengajak mertuanya masuk ke dalam.

Syarin mengedipkan matanya pada sang papa untuk menyimpan aura tajamnya agar anak-anak tidak ketakutan.

Oba menunduk dan mengikuti semuanya kembali ke ruang tengah yang lebih besar, dia bak bebek terkena hujan yang enggan mengepakkan sayap untuk mengeringkan bulunya.

Kenapa dia sedikit takut! Kenapa?

°°°

Bersambung.

°°°

Note
Maaf ya kakak-kakaknya Oba, telat up. Setelah uang Bapak yang hilang dikembalikan, pikiranku jadi tenang lagi. Rencana malam mau nulis, eh malah gempar karena ada ular berbisa yang suka nyembur masuk rumah. Mana yg di rumah laki-lakinya blm pulang, jadilah ngaso di teras sambil memikirkan itu ular masuk kemana. Besoknya sibuk bongkar rumah karena ularnya tanpa kabar udah pergi.

OBAΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα