15. Bertahan 💪

1.3K 210 12
                                    

    
     Oba duduk di kursinya dengan malas, beberapa teman sekelasnya tengah sibuk menyalin PR milik siswa yang sudah menyelesaikannya. Tidak peduli benar atau salah, yang penting sudah terisi. Tentu saja Oba tidak suka hal seperti itu, menurutnya sebagai siswa yang mau bersekolah harusnya bertanggung jawab. Tugas-tugas dari guru itu kan pekerjaan wajib yang harus dikerjakan. Sama pekerjaan rumah saja menyontek, memalukan.

Itu semua hanya berputar pada otak kecil seorang Oba—yang untungnya dia cukup pintar dan mau berusaha. Dia berpikir begitu karena kasihan pada Radit, korban yang selalu jawabannya dibagi-bagi ke seluruh teman sekelas. Mereka dapat enaknya saja, padahal Radit mengerjakan tugasnya sampai harus tidur larut malam.

Tapi Radit suka bilang, "mau bagaimana lagi namanya teman". Pikiran itu tidak cukup diterima dengan otak Oba.

"Oba! Lihat jawaban punya kamu dong, bagi-bagi gitu," ujar salah satu siswa yang tidak mengerjakan tugasnya.

Sebagai tanggapan, Oba hanya melengos sambil memeluk bukunya erat-erat.

Siswa-siswa yang melihatnya, mendengkus kesal. "Awas ya kamu, Oba! pelit banget."

Oba pura-pura, masa bodoh dengan kekesalan mereka. Baru kenal setengah tahun saja, sudah sok akrab, pikirnya.

Saat waktu istirahat, Oba menguntit Radit untuk pergi makan bersama.

Keduanya duduk di kursi kantin, saling berhadapan. Radit melepas kacamatanya, mengusap kacanya dengan malas dan mengenakannya lagi. "Kamu ...." Dia melihat ke sekitar.  "Kamu nggak pergi ke kantin lantai dua lagi? Nggak jadi masuk geng Perfek?"

Oba menyilang kedua tangannya di depan dada, kepalanya melengos ke kiri dengan mata terkulai. "Gagal. Aku jadi malas. Nggak minat lagi masuk geng."

Mendengar itu, Radit langsung mengerutkan keningnya. "Kenapa? Walaupun kamu nggak pernah bilang, tapi aku tahu kamu mau bergabung menjadi anggota geng itu untuk menghindari Raden kan! Anak kelas sebelah itu!"

Radit adalah tipe remaja yang suka kesendirian, fokus belajar dan tidak terpancing dengan suasana sekitar. Tapi Oba sudah menjadi teman sebangku sejak setengah tahun lalu, mau tidak mau dia cukup mengenal bocah tengil ini. Dia pernah sesekali melihat Raden memaksa Oba untuk mengikutinya ke sudut sekolah, bahkan dia mendapati langsung Oba dipukul Raden. Tapi, dia juga tidak bisa berbuat apa-apa.

Oba mengerucutkan bibirnya. "Jangan mengatakan itu pada siapapun, tidak banyak yang tahu jika Raden suka menggangguku." Kepalanya sedikit menunduk, "ya niatku memang seperti itu. Aku sudah kesal sekali dengan kelakuan Raden, takutnya aku akan menyimpan dendam padanya. Jadi daripada itu membuatku hilang kesabaran, makanya aku mencari cara untuk keluar dari jerat Raden secara halus."

Oba menghela napas dan Radit pun ikut menghela napas. Mereka diam-diam mengeluh dalam hati, yang satu tidak bisa membantu dan satunya lagi merasa sangat jengah. Tapi inilah hidup, semuanya harus dihadapi, kadang yang menurut kita itu sulit ternyata sangat mudah dilewati. Jangan mudah menyerah. Dia menarik napas lalu tersenyum.

"Tapi Papa akan mendaftarkan aku ke dalam klub taekwondo, karate, dan pencak silat. Aku akan berdiri dengan kakiku sendiri untuk melawan Raden dan kawannya itu."

Radit menyipitkan matanya, "itu kamu yang minta bukan! Mana mungkin Papamu kepikiran buat masukin kamu ke klub itu, kan anaknya pemalas akut, hobinya rebahan mulu sambil main game."

"Eeeh." Oba mencebik, "kamu juga sukanya rebahan saja sambil baca buku. Makan saja sekalian kertas-kertasnya biar nggak otaknya doang yang kenyang, tapi perut juga."

Radit menyemburkan tawanya.

Oba melahap nasi goreng yang baru saja diantar ibu kantin, ada toping sosis kesukaannya dan printilan ayam goreng. Lezat.

"Makan yang banyak, aku doakan biar cepat tinggi."

Radit menarik sedotan es teh ke mulutnya, sudut bibirnya tertarik lebar kala melihat Oba makan makin lahap.

Selepas perut mereka terisi, keduanya beranjak pergi kembali ke kelas.

Oba duduk di kursinya dengan kepala ditopang tangan kanan. Aku harus melupakan tentang geng Perfek. Lupakan tentang geng apapun itu. Aku harus fokus belajar bela diri untuk mengalahkan Raden sendiri. Batinnya.

Waktu tidak akan berhenti. Maka dia juga tidak bisa diam. Jika cara satu mati. Pasti ada jalan lain yang bisa dilalui. Akan ada jalan keluar ketika kamu benar-benar berusaha ingin bebas.

Di gerbang sekolah saat waktu pulang sekolah, dari arah parkiran dalam sekolah beberapa motor melaju keluar dengan satu mobil berada di depan. Oba melengos pura-pura tak melihat sosok Rasen yang terlihat dari jendela mobil yang terbuka.

Harga dirinya sudah hancur.

Ketika matanya bergulir ke belakang, dia melihat sosok Raden dan dua temannya yang sepertinya baru keluar dari sudut sekolah. Mungkin habis berurusan dengan korbannya kah!

Oba merasa perutnya berkedut dengan rasa sakit yang mulai menjalar. Punggungnya juga agak nyeri mengingat tendangan keras dari kaki tak beradab Raden. Aku harus lari, sebelum Raden melihatku, pikirnya. Bukannya takut, tapi keadaan mendesak. Bertahan untuk menang.

Dia mengambil ancang-ancang, lalu berlari cepat keluar dari gerbang, menerobos lewat depan mobil yang dikendarai Gadri hampir keluar dari gerbang.

Melihat sosok Oba yang melesat pergi melewati depan mobil, mata Gadri sedikit menyipit sambil menghela napas. Bocah itu benar-benar tidak punya niat masuk ke geng. Pantas saja Rasen tidak menganggapnya serius. Pikirnya.

Gadri melirik Rasen yang bersandar dengan tangan menopang dahinya, terlihat seperti memikirkan hal penting.

Oba menghentikan larinya, dia bertopang lutut sambil mengatur napas. Halte sudah dilewatinya, walaupun banyak siswa lain yang juga menunggu di halte. Tapi dia enggan sekali berpapasan dengan Raden. Tunggu saja saat ia siap.

"Beli jajan pinggir jalan ah, nanti makan sama Riama. Adikku itu kan sukanya rujak sama gado-gado. Aku beli apa ya!" Celoteh Oba sambil berjalan mengamati gerobak pedagang kaki lima yang tidak jauh di depannya.

Sampai uang merahnya berganti menjadi kertas bewarna ungu—dengan tangan yang penuh kantong-kantong makanan—Oba baru dengan santai pergi ke halte bus selanjutnya. Uangnya masih cukup untuk bayar ongkos bus saja. Angkot banyak, tapi dia sukanya naik bus.

Tidak ada yang paling nikmat di dunia ini kecuali nikmat sehat. Wajah Oba penuh dengan riak bahagia, hatinya benar-benar dalam kondisi baik. Setidaknya dia selalu diberikan Allah kesehatan, sehingga sampai hari ini ia bisa makan apa saja. Tidak apa-apa ditolak masuk geng, tidak apa-apa Raden suka mengganggunya karena hal itu akan berakhir sebentar lagi.

Ada senyum smirk yang Oba lempar ketika memikirkan saat-saat ia telah jago bela diri.

Ketika Bus datang, Oba beranjak cepat dan duduk di depan. Hobinya saat naik bus adalah melihat sang sopir mengendalikan roda kemudinya dengan handal, hal hebat yang membuat benda besar dan panjang bergerak di antara mobil dan motor kecil di jalan raya. Jika dia tidak memiliki pekerjaan yang ia dapatkan saat dewasa nanti, setidaknya menjadi sopir bus saja sudah cukup.

Bersambung

°°°

Note :

Saya nulis part ini pas malam tahun baru, bukan saya ngerayain tahun baru, tapi nggak bisa tidur gara-gara suara petasan. 😌😌 Baru up sekarang.

Maaf ya, janji awal Januari tapi baru up sekarang. Kelanjutannya besok ya, saya mau revisi dulu, ini aja baru habis direvisi. 😁

OBATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang