5. Daffodil

1.7K 105 4
                                    

Enjoy the music 👆 enjoy the story 👇

Enjoy the music 👆 enjoy the story 👇

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menyambar jaket di kursi belajar. Meloncat keluar lewat jendela kamar menuju ke halaman rumah, tempat sepedaku terparkir.

Bunda dan Papa tidak akan tau aku kabur dari rumah selagi tamu kehormatan mereka belum pergi. Meskipun suara sepeda yang kulempar keluar gerbang cukup keras, mereka tidak berinisiatif memeriksanya.

Aku mengayuh dengan gaya seorang pesepeda profesional. Bukan jalanan dengan bendera tertancap dan teriakan suporter yang kulewati, tapi jalanan berliku yang mengerikan.

"Abel!" seruku sambil melempar sepeda sembarangan di taman samping rumah Abel, lalu lari masuk ke dalam tanpa mengunci gerbang seperti semula.

Abel sedang tiduran dengan wajah bermasker saat aku masuk ke dalam kamarnya. Dia tidak bergerak ketika mendengar seruanku yang seharusnya berhasil membangunkan satu isi rumah.

"Abel!" geramku sambil menarik paksa dua potong timun dari mata Abel. Kedua kelopak mata itu membuka. Sorotan mata kesal menyorot dari sana.

"Apaan sih, Ra," protes Abel. "Lo gangguin meditasi gue."

"Meditasinya nanti. Gue butuh ketenangan sekarang."

Abel menarik lenganku dan menidurkanku di sampingnya. Tangannya meraih dua potong timun dan menempelkannya di kedua mataku. "Makanya meditasi, biar lo bisa tenang."

Aku menghela napas kesal. Melempar dua potong ketimun ke piring lagi. "Gue nggak bisa---"

"Sshh!" desis Abel membuatku terdiam untuk memperhatikannya.

"Lo perlu meditasi biar bisa tenang. Mau pakai masker juga? Gue baru beli dari toko online, nih. Tinggal pilih mau yang mana? Ini ori semua, loh."

Aku mendesis gemas.

Abel memperlihatkan lacinya yang penuh dengan sheetmask dan puluhan skincare dari berbagai merek.

"Vera, ketua cheers yang udah lulus tahun lalu kasih resep kecantikan ke gue. Katanya, jadi ketua itu nggak melulu bisa dance, tapi juga harus punya daya tarik."

"Lo beruntung karena lo kayak model sejak lahir," sahutku pura-pura peduli.

"Ya, Vera juga bilang gitu. Tapi gue masih harus benerin muka yang kayak aspal ini."

Aku menatap terperangah. "Kulit glowing sempurna kayak gitu lo bilang aspal? Terus kulit gue apa? Batu karang?"

Abel tertawa. Masker lumpurnya retak di bagian pipi. Dia buru-buru mengecek ke arah cermin dan meringis menyesal.

"Pokoknya, Vera kasih tau banyak banget tips jadi ketua cheers."

"Bel, gue mau cerita," rengekku agar Abel menghentikan topiknya tentang cheers semenit saja.

EVIDEN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang