13. Jasmine

782 59 2
                                    

Enjoy the story enjoy the music

Kursi di ruang makan tertata rapi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Kursi di ruang makan tertata rapi. Lampu di ruang keluarga mati. Rumah ini terlihat seperti tak ada kehidupan.

Koran langganan Papa tergeletak di bawah pintu. Tak tersentuh sejak pagi.

Aku benci ketidak normalan ini. Bahkan hanya untuk bersuara membutuhkan keberanian yang tidak terbatas.

Aku menahan batuk, menjaga langkah agar tidak bergema di tangga, dan mengunci pintu agar suaraku tidak terdengar hingga keluar dan mengusik ketenangan Papa.

Begitu sampai di depan cermin rias, air mataku meleleh.

Setiap sore di hari Kamis, Bunda tidak absen masuk ke dalam kamarku, menata rambutku dan bercanda.

Setelah matahari turun ke ufuk barat, Bunda akan pergi ke bawah untuk menyiapkan makan malam karena Papa akan segera pulang. Untuk pertama kalinya semua itu tidak terulang.

Aku meraih ponsel dan menghubungi Abel. Belum sampai tersambung, aku membatalkan panggilan itu. Selama ini belum cerita apa-apa lagi kepada Abel, dia tidak tau apa yang kualami akhir-akhir ini.

Abel bukan orang yang tepat untuk kutelfon. Orang yang tepat itu adalah Vicky.

"This is Vicky, leave some message. Vicky will answer latter!" terdengar suara operator yang menunjukkan bahwa Vicky sedang tidak aktif.

Lagi ngapain sih dia? Bukannya kerjaannya cuma di rooftop doang? Les enggak, belajar cuma pas sama gue, seharusnya dia pegang hape dan angkat telfon dari gue.

Aku melempar ponsel ke meja. Merobohkan tubuh di atas tempat tidur. Apakah dewasa semenyakitkan ini?

🍁


Hal yang sama terulang lagi keesokan harinya. Tidak ada sarapan. Bunda tidak menyapa, Papa juga tidak berangkat bekerja.

Meskipun mereka di rumah, tidak ada satu pun yang berinisiatif untuk menemuiku.

Aku merasa menjadi orang asing di rumah ini.

"Sial!" umpatku saat menyadari ban sepeda belakang bocor untuk kedua kalinya selama sebulan ini.

"Papa, ban sepeda Rara bocor!" seruku, lalu sadar Papa tidak mungkin turun dan membantuku memperbaiki sepeda.

Aku menghela napas pasrah. Berjalan ke arah pos, tempat Pak Dadang sedang memperhatinkanku dengan tatapan prihatin.

"Pak, bisa anterin Rara nggak?" tanyaku kepada laki-laki berkulit sawo matang itu.

"Maaf, Neng. Saya sudah dikasih pesan nggak boleh kemana-mana sama Pak Dwi, katanya sebentar lagi mau berangkat. Kalau saya pergi, nanti saya dimarahi." Pak Dadang melirik ke arah jendela di lantai dua, tempat kamar Papa dan Mama berada.

EVIDEN (END)Where stories live. Discover now