44. Monarda

664 63 2
                                    

Luka memanjang itu tidak terlalu dalam, tetapi itulah masalahnya

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Luka memanjang itu tidak terlalu dalam, tetapi itulah masalahnya. Luka yang tak terlalu dalam justru akan berbekas dan terasa lebih perih.

Aidan meneteskan anti biotik dan membersihkan lukaku dengan telaten. Aku tidak mengerti apakah ini adalah salah satu rencana Vicky---mendekatkan aku dan Aidan---dengan cara menyakitiku.

Ekspresi peduli Aidan tak ternilai harganya. Dia meniup lukaku beberapa kali, aku nyaris tak merasa perih karena wajahnya yang menyejukkan.

"Selesai," kata Aidan setelah membalut lukaku dengan kain kasa. Caranya membalut tanganku terlihat buruk, kini tanganku mirip seperti tangan dengan tulang yang patah, tapi aku senang karena dia melakukannya dengan tulus.

Aidan duduk di sampingku. Menatap wajahku yang sudah kering. Aku sengaja menghentikan tangisanku agar Aidan tidak menganggap aku gadis yang lemah.

"Bunda beberapa kali kasih tau gue. Dia suruh gue jaga lo dari Vicky," jelas Aidan membuatku menatap serius ke arahnya.

"Gue kira Vicky itu baik dan Bunda cuma terlalu khawatir aja. Ternyata Bunda benar, lebih baik lo nggak usah dekat-dekat sama dia."

Aku membuang muka darinya. Jika tidak bersama Vicky, lalu bersama siapa?

"Mungkin Vicky cuma lagi sedih aja. Dia nggak sengaja dorong gue," sahutku dengan nada serak.

Aidan mendesis gemas. "Elo itu kalau dibilangin ..."

"Apa?" sahutku penasaran.

"Did you know, kenapa sampai sekarang gue masih peduli sama lo?" tanya Aidan membuatku menautkan alis.

"Karena lo itu adik kecil paling polos yang pernah gue punya." Dia menepuk pundakku beberapa kali, lalu tertawa.

Aku berusaha memaksakan diri untuk tertawa, tapi bibirku sulit sekali digerakkan ketika menyadari selama ini dia menganggapku sebagai adiknya.

"Gue mules, Ra. Lo nggak papa keluar sendiri, kan?"

Aku tak sempat menjawab. Dia lebih dulu bangkit berdiri.

"Kalau Vicky datang lagi, lapor sama abang lo ini." Dia menepuk dadanya dan tersenyum bangga.

"Kalau bukan buat nyelametin lo, buat apa gue terlahir, kan?" Aidan tertawa melihat ekspresi tak berdosa di wajahku.

Dia menghilang setelah mengangguk hormat kepada dokter penjaga UKS yang kini sedang melirikku.

"Sudah ganti lagi, Samara? Kemarin sama Vicky, sekarang sama bule," kata Dokter membuatku menarik kelambu brangkar secepat kilat.

EVIDEN (END)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora