60. Violet

293 36 4
                                    

Dalam keadaan patah hati, aku dilanda pertanyaan bertubi-tubi oleh Bunda karena pulang dengan tubuh lemas dan mata sembab

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Dalam keadaan patah hati, aku dilanda pertanyaan bertubi-tubi oleh Bunda karena pulang dengan tubuh lemas dan mata sembab. Aidan menjelaskan dengan sedikit bumbu cemburu di tiap nada bicaranya bahwa aku merasa kehilangan Vicky.

Bunda menatap miris ke arahku. Menyesal karena dulu pernah melarangku bersahabat dengan Vicky padahal selama ini Vicky lah tempatku berlindung ketika terjadi konflik di rumah.

"Besok Bunda ikut ke rumah sakit, Bunda mau minta maaf sama Vicky, Boleh kan?" Bunda memelukku. Memberiku segenap kekuatan lewat deru napas berisi penyesalannya.

Seperti yang dijanjikan, Bunda benar-benar ikut keesokan harinya pada pukul satu siang ke rumah sakit. Vicky baru saja selesai cuci darah. Dia duduk lemas di atas brangkar. Memakai tanda pengenal yang menunjukkan kalau dia pasien rawat inap.

Kami masuk ke dalam ruangan Vicky; aku, Bunda, dan Aidan.

Mata cekung Vicky mengawasi kami.

"Vicky, gimana perasaan kamu?" Bunda mengelus bahu Vicky penuh kasih sayang.

"Maafin Tante karena pernah berprasangka buruk sama kamu. Terima kasih juga karena sudah jaga Samara selama ini."

Vicky mengalihkan pandangan ke arahku.

"Sama-sama," sahut Vicky datar.

"Bunda, Abel udah nunggu di bawah, katanya Bunda mau jenguk Tante Indah di ruangan bawah?" tawarku agar Bunda keluar lebih cepat dari ruangan ini. Aku sudah tidak sabar ingin bicara hal yang tidak perlu bunda dengar.

"Ya sudah, jaga diri, ya. Selalu semangat!"

Bunda tersenyum, lalu meninggalkan ruangan Vicky dalam keheningan.

Aku mengalihkan perhatianku ke arah Aidan. Menariknya hingga keluar ruangan agar percakapan kami tidak terdengar oleh telinga Vicky.

Aku menghentikan langkah di ujung lorong. Menatap Aidan yang sudah bisa menebak apa yang aku inginkan.

"Boleh nggak gue nemenin Vicky hari ini?" tanyaku dengan nada memohon.

Aidan menatap serius. Ada kilatan cemburu di kedua matanya. "Gue pacar lo, bukan orang tua lo, kenapa lo harus minta izin?"

"Aidan, please." Aku mncengkram tangannya. Tau benar jika dia sedang meremehkanku dengan nada bicara sarkasnya. "Gue pengen berada di samping Vicky di hari-hari terakhirnya."

"Iya, Ra. Gue ngerti." Aidan melepas pegangan tanganku.

"Beneran, boleh?"

"Hargain gue yang lagi berusaha nahan rasa cemburu ini, Ra." Aidan menghela napas frustasi.

"Iya, gue tau. Kalau lo nggak ngizinin, gue nggak akan pergi kok."

"Oke, lo boleh pergi. Tapi selalu ingat gue. Ngerti?"

EVIDEN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang