47. Torenia

1.3K 74 11
                                    

Penerbangan berlangsung selama 30 jam tanpa transit

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Penerbangan berlangsung selama 30 jam tanpa transit. Untung saja aku memesan kursi bisnis sehingga punya banyak tempat untuk tidur.

Sepuluh jam terakhir, aku menonton tv dan mengawasi Vicky yang membaca majalah. Aku beberapa kali memancingnya untuk bicara tentang perkelahian kami, tapi dia tidak mengatakan apa-apa.

Aku menguap karena mengantuk. Makan malam yang baru tersaji tersisa setengah. Rasanya hambar makan di dalam pesawat.

Rasanya sudah tidak tahan. Tubuhku roboh dan menemukan tempat nyaman. Aku menutup mata dengan sempurna dan tertidur pulas.

Entah sudah berapa lama aku tertidur. Aku membuka mata dan merasakan selimut sudah menutup sebagian tubuhku. Aku tau, pasti Vicky yang menyelimutiku.

Aku menoleh ke samping,Vicky tertidur dalam posisi duduk. Telinganya tersumpal earphone. Wajahnya tanpa sorotan matanya terlihat polos dan naif. Rambut depannya jatuh ke kening, begitu tampan.

Aku sadar posisiku sudah berada di samping Vicky dan sama-sama terduduk. Sejak tadi aku mengamati Vicky seolah menemukan fitur baru di wajahnya. Kenapa aku baru sadar kalau dia setampan ini?

Aku meraih selimut untuk menutup tubuh Vicky, tapi perhatianku lebih dulu teralihkan ke ponselnya yang masih tercolok dengan earphone.

Ada tiga panggilan tak terjawab dari Laras dan satu panggilan dari seseorang bernama dokter Patricia.

Vicky masih berhubungan dengan Laras? Ada rasa kecewa menggerogoti dadaku, tapi aku berusaha berpikir positif.

Mungkin rasa cinta Vicky kepada Laras begitu besar. Mungkin mereka masih berhubungan secara diam-diam di belakangku. Mungkin karena itulah Vicky menolakku menjodohkannya dengan Oki.

Mata Vicky terbuka. Aku yang sedang menyampirkan selimut ke tubuhnya hanya bisa merenges.

Vicky menatap tanganku yang masih setengah menyelimutinya. Lalu menatapku dengan tatapan datarnya. Dia kembali terlihat seperti Vicky yang datar dengan tatapan mata itu.

"Siapa tau lo kedinginan," jelasku dengan setengah tersenyum.

Vicky menarik selimutnya hingga menutupi setengah tubuhnya.

Kami bertatapan cukup lama membuatku canggung, terutama setelah mengingat pujian kepada Vicky tadi. Bahwa dia sebenarnya tampan.

"Apa?" tanyaku membuyarkan situasi canggung itu.

"Apa?" sahut Vicky balik.

Aku duduk di sampingnya dan menidurkan kepalaku di bahunya. Ini adalah pertama kalinya kami sedekat ini dan aku tidak merasa menyesal.

"Gue mau tanya sesuatu boleh nggak?" tanyaku tak mendapat jawaban. Kupikir Vicky marah, ternyata dia sudah tertidur lagi.

Aku menghela napas dan kembali menutup mata untuk melanjutkan tidurku yang sempat tertunda.

EVIDEN (END)Where stories live. Discover now