01 - panas

15 1 0
                                    

"Toilet! Toilet!"

Begitu Pak Rustam mengakhiri kuliah Akutansi Manajemen, Danti melejit menerobos rekan-rekannya di pintu kelas. Seraya setengah berlari, ia terus mengipas wajah dan lehernya dengan potongan kardus mi instan.

Ia peroleh kertas tebal itu dari seorang rekan yang iba. Iba karena melihat wajah Danti kuyup berpeluh-peluh. Pendingin ruangan di kelas mereka lagi-lagi tidak berfungsi. Cuaca cerah nan terik di siang bolong praktis mengubah kelas kuliah menjadi kukusan sauna. Yang putih menjadi merah, yang hitam bertambah matang, lalu mereka siap ditiriskan.

Kira-kira lima puluh meter berlari, Danti menemukan toilet dan segera masuk. Keran dibuka lebar-lebar. Air yang mengucur deras segera ditadah dan dipulaskan ke muka. Berkali-kali, hingga ia merasa lapisan minyak bercampur garam di kulit wajahnya menggelontor jatuh di wastafel, menyisakan sensasi dingin yang membuatnya menghela karena lega.

Sembari mengelap wajah dengan saputangan, Danti pun menyadari bahwa toilet yang ia sambangi sudah sejak semula kosong melompong. Tidak tampak mahasiswi lain selain dirinya yang berdiri celingukan dengan wajah separuh basah. Meski terasa janggal, Danti mencoba untuk cuek. Ia anggap rekan-rekan satu kelasnya mungkin lebih senang berkipas di lorong kampus, ketimbang buru-buru cari toilet untuk menyegarkan wajah.

Namun, bunyi gerendel diputar membuat Danti batal mendeklarasikan dirinya satu-satunya orang yang saat ini ada di toilet. Tampak dari cermin di atas wastafel, pintu bilik toilet paling ujung mulai membuka. Danti kembali tidak acuh karena merasa tidak perlu tahu siapa yang nantinya akan keluar. Prioritasnya sekarang adalah rambutnya yang sepunggung itu. Ikatannya sudah tidak berbentuk. Kepalanya berkali-kali dikucek sepanjang jam kuliah.

Tapi, tunggu!

Danti urung mengikat rambutnya setelah digerai. Pelan ia menoleh pada pintu yang tadi sudah membuka. Jika tidak salah ingat, sudah hampir satu menit sejak gerendelnya diputar. Namun, hingga sekarang, sama sekali ia tidak melihat seseorang keluar dari bilik kecil itu.

"Ada apa gerangan?" gumamnya dengan kening berkerut.

Sepintas, Danti teringat rumor yang beredar. Seorang mahasiswi pernah ditemukan tewas di kamar toilet paling ujung. Nadinya tersayat. Banyak versi tentang kematiannya. Mulai dari masalah asmara, keluarga, hingga ancaman DO karena telah berkali-kali gagal dalam tugas akhir.

Namun yang pasti, semenjak kejadian tiga tahun lalu itu, beberapa mahasiswi mengaku toilet ini adalah tempat paling angker di kompleks universitas. Sebisa mungkin mereka menghindar, kecuali dalam situasi "tanggap darurat".

"Angker...?" gumam Danti. Sekarang, ia paham mengapa sekelompok mahasiswi modis di kelas Manajemen tidak memperbaiki make-up mereka di sini. Cerita seram itu telah meracuni pikiran generasi intelek seisi kampus.

Meski mencibir, Danti tetap waspada memperhatikan pintu tersebut. Baginya, tidak ada makhluk yang bernama hantu. Terlebih-lebih, sekarang ini siang bolong. Itu pasti perbuatan orang usil. Danti ingin tahu siapa yang berani mengisenginya sekarang.

Akan tetapi, kalau ingat tentang orang usil, Danti tiba-tiba tercekat. Putaran memorinya terseret pada kejadian tadi pagi, ketika setangkai mawar merah untuk kesembilan kalinya tergeletak di atas meja kuliahnya. Tidak ada yang mengaku melihat pelakunya, terlebih mengaku menjadi orang yang melakukannya.

Beberapa teman kuliah meyakinkan bahwa pemberian misterius tersebut adalah hal yang romantis. Namun bagi Danti, semenjak pemberian bunga yang kelima, rasa romantis itu hanya tinggal sepah. Ia justru merasa diawasi. Setiap gerak-geriknya seolah dipantau seseorang.

Dan jangan-jangan, orang iseng itu juga ingin mengintipnya di kamar mandi. Sungguh perbuatan yang sangat rendah!

Danti pun mengendap-endap. Didekatinya pintu dengan menahan napas. Setelah tersisa satu langkah lagi untuk menyergap, ia berhenti sejenak dan menghela pelan. Selanjutnya, ia mulai menghitung di dalam hati.

"Satu..., dua...." Hitungannya terhenti sebelum mencapai angka ketiga.

Di detik-detik terakhir, Danti membatalkan niatnya untuk melompat ke depan pintu lalu berteriak untuk membuat siapa saja yang ada di sebaliknya melonjak kaget. Ia punya siasat lain. Ia naikkan kaki sebelah kanan lalu mencopot sepatu. Setelahnya, ia kembali menghitung.

"Satu..., dua..., TIGA!"

Kali ini, Danti benar-benar melompat. Ia mendarat di depan pintu dengan tangan siap mengayunkan sol sepatu. Seketika itu pula, ia disambut pekikan histeris seorang gadis berambut pirang di dalam toilet. Sebuah benda persegi pipih berwarna merah muda terlepas dari tangannya. Nyaris benda itu menghempas lantai jika ia tak refleks menangkapnya kembali.

"Danti! Apa kau buat?" omel gadis Tionghoa di dalam bilik dengan jemari gemetar. "Kau buat aku kaget!" lanjutnya. Nyaris saja ia kehilangan jantung dan smartphone mahal dalam waktu bersamaan.

Danti yang menerima omelan itu hanya mengernyit. Alisnya meliuk-liuk dan keningnya berlekuk-lekuk.

"Linda?" ucap Danti kemudian. Bisa dibilang, dirinya pun tak kalah kaget. Sewaktu teman sekelasnya itu menjerit, ujung kaki Danti juga refleks melonjak. "Maaf...! Aku pikir siapa tadi lama-lama di toilet."

"Lain kali tanya dulu. Aku tadi pipis, tapi ada chat. Makanya, aku balas dulu!" Wajah sewot Linda masih terukir tebal. Danti membalas dengan tersenyum kecut. "Sana! Minggir!"

Danti melangkah mundur dua kali. Linda segera ngeloyor. Pintu kamar mandi ia buka lalu ditutup dengan kencang. Setelah gadis itu tak terlihat, Danti pun mendesah. Dipandanginya sisa bilik toilet yang masih tertutup.

Benar-benar sepi sekarang?

Insiden di toilet tak hanya menelan korban seorang gadis Tionghoa, putri distributor ATK dan alat-alat komputer di Pontianak. Danti yang semula hanya berwajah bengong karena salah terka, beberapa menit kemudian turut keluar dari toilet dengan bertekuk wajah. Sepanjang jalan hingga pelataran parkir di depan kampus, ia memajang wajah kecut meski telah dibasuh berkali-kali. Di dalam hati, ia terus mengomel pada "seekor" kambing hitam.

Gara-gara orang iseng itu, yang selalu mengiriminya bunga, ia jadi selalu merasa diawasi. Entah itu di kelas, di lorong kampus, di jalan, bahkan di toilet. Gara-gara orang iseng itu, yang selalu mengiriminya bunga, ia jadi selalu waspada. Dan waspada itu telah merenggut satu korban. Ia salah terka dan hampir membawa Linda ke rumah sakit, serta mengirim ponsel gadis itu ke tukang servis. Gara-gara orang iseng itu, yang....

Apa lagi ini?

Danti melongo setelah duduk di dalam mobil. Ada secarik kertas merah muda terjepit manis oleh sweeper jendela depan. Kepalanya otomatis didorong maju untuk memindai tulisan rangkai yang tercoret di sana.

Setelah terbaca dengan jelas, matanya seketika membelalak. Isi kepala yang sudah susah-susah ia dinginkan, kini bergolak.

Lekas Danti keluar, menarik kertas itu dari sweeper, membacanya lagi dengan jarak superdekat serta mata membentang lebar. Pada akhirnya, ia menjerit.

"Aziz Gagaaaaap!"

Sejumlah mahasiswa di pelataran parkir menoleh, bahkan ada yang menutup kuping. Kertas itu Danti remas, lalu dibuang, dilumat lagi dengan sepatu, dan akhirnya ditendang jauh-jauh.

Matanya berair setelah membaca sederet puisi di kertas itu. Rasanya panas dan gatal. Ingin digaruk, tapi itu mata. Mata!

Cepat-cepat ia kembali masuk mobil dengan napas berkejar-kejar. Dinyalakannya mesin lalu dihentaknya pedal gas dalam-dalam.

VIA Bagian PertamaWhere stories live. Discover now