03 - jengkel

7 0 0
                                    

Suara khas lenting bola basket terdengar hingga ruang tamu. Arahnya dari pekarangan rumah. Akan tetapi, sekarang sudah pukul lima sore dan terlalu telat dari biasanya. Permainan Danti pasti sudah berakhir ketika Eldien memarkir mobil. Sedangkan tadi, sedikit pun ia tidak melihat sosok gadis itu di pekarangan rumah. Mobilnya pun tak nampak di garasi.

"Apa Danti baru pulang?" terka Eldien. "Baru pulang langsung main basket?" Kalau benar, sungguh energik sekali gadis itu. Seperti tak kenal capek. Dirinya saja sekarang harus merebah di ruang tamu sepulang dari kantor. Walau usia mereka hanya terpaut sepuluh tahun, Eldien sudah merasa sangat ringkih.

Penasaran, ia turun dari sofa untuk keluar memeriksa.

Benar saja, putri dari atasan sekaligus suaminya itu tengah asyik membuat tembakan-tembakan jauh. Hampir semua besutan bola berhasil dengan mulus menerobos keranjang. Eldien sendiri tidak kaget atas bakatnya. Hanya saja, seragam yang melekat di tubuh Danti membuat ia sedikit tergelitik. Sepertinya benar, seragam karate tidak cocok untuk bermain basket.

Danti terus membuat tembakan-tembakan jauh. Sesekali, mahasiswi Fakultas Ekonomi semester empat itu terlihat agak emosi. Ia menambah dorongan pada bola. Lalu pada suatu kesempatan, bola gagal menerobos keranjang yang berjarak hampir dua puluh meter dari tempat ia berdiri. Bola malah terpental balik. Dengan sigap, ia menadah bola itu dengan jotosan khas karate.

Bola melesat lurus. Tak diduga, sebuah ayunan tangan yang lentik menepis benda bundar tersebut. Alhasil, lesatan bola membelok ke atas, membuat lintasan melengkung, lalu berhasil melewati keranjang.

"Ibu Eldien?" Danti tercekat. Ia sungguh tak menduga. Wanita yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya kini berhasil menepis bola yang ia luncurkan. Dengan anggun.

Terdengar Eldien mendesah. "Masih juga panggil 'Ibu Eldien'. Kapan mau panggil 'Mama' atau cuma 'Ibu'?" Tangan kanannya dikipas-kipas. Kulit putih khas wanita eksekutif miliknya memerah. Berkali-kali ia tiup dan elus.

"Seingatku, Ayah yang sering bilang begitu...," sahut Danti. Matanya lekat menyisir tubuh Eldien yang masih bersetelan kerja dengan kaki beralas sandal jepit. Bagus, sekarang ada dua orang berpakaian aneh sedang main basket.

Edien melongo. Lalu, ia senyum dan mengangguk-angguk sendiri. "Itu artinya, ini pertama kali aku ikut mengingatkanmu."

"Maaf..., aku perlu waktu...," jawab Danti kemudian. Ujung matanya lalu beralih pada bola basket yang masih memantul usai menerobos keranjang di belakang Eldien. Hingga sekarang, lidahnya masih sulit beradaptasi untuk menyapa Eldien dengan panggilan yang lebih dekat.

"Lima bulan belum cukup, ya?" gumam Eldien. Bola yang sempat ia tepis dan masuk melewati keranjang di belakangnya, jatuh ke tanah lalu bergulir mendekat. Ia ambil, kemudian dilempar kembali menuju keranjang. Sayangnya, kali ini meleset.

"Kita tak punya waktu untuk bersama." Anak tunggal suaminya itu melewati Eldien. Ia menyusul bola yang masih bergulir lalu membentur sisi pekarangan. Segera ia pungut begitu bola berbalik arah.

Sebelum Eldien menikah dengan pemilik perusahaan kontraktor alat berat tempat ia bekerja, Danti hanyalah anak atasannya, yang kadang-kadang terlihat iseng bermain di kantor atau garasi alat-alat berat. Namun, semenjak Danti menjadi putrinya, gadis yang sangat aktif itu bagai ditelan bumi. Ia tidak terlihat lagi bercanda dengan para karyawan. Ia lebih suka menghabiskan waktu di luar rumah, ikut latihan bola basket dan karate.

Eldien merasa bahwa Danti masih belum dapat menerima dirinya sebagai ibu, meskipun sama sekali tidak ada penolakan atas pernikahan lima bulan lalu tersebut. Hanya sedikit protes. Mengapa harus menikahi Eldien yang selama ini sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri?

"Maaf. Aku tak bermaksud memaksa. Mungkin, ada baiknya juga kita terus seperti ini. Daripada kau panggil aku 'Ibu', tetapi ada yang tidak dapat aku lakukan sebagai ibu."

Danti hanya diam. Ia tidak dapat berkonsentrasi apabila harus memikirkan dua hal berbeda sekaligus. Bukan masalah Eldien yang kini menumpuk di kepalanya. Oleh karena itu, ia lanjut melontar bola melewati keranjang. Kali ini, dari jarak dekat.

"Ah, tidak!" batin Eldien. Rasanya, ia baru menyentuh sesuatu yang tidak sepatutnya diperbincangkan. "Maafkan kata-kataku tadi. Aku tak bermaksud...."

Lemparan kedua kembali berhasil. Melihat gelagat Danti tidak berubah, Eldien buru-buru mengganti topik.

"Hei, kau baru pulang latihan karate, kan? Biasanya langsung mandi."

Lemparan ketiga melewati keranjang dengan mulus.

"Kau sedang jengkel? Ada orang yang membuatmu tidak senang? Kuharap, itu bukan aku."

Mendengar kata "jengkel" disebut-sebut oleh Eldien, Danti terpaksa mengingat berbagai kejadian tak sedap sepanjang hari ini. Dimulai dari kuliah siang dengan kelas tanpa AC, hingga harus menerima kenyataan bahwa ia mencecerkan seorang teman kuliah yang seharusnya dibawa serta saat mengantar Via ke tempat kerja.

Dan..., oh iya. Bunga dan puisi itu. Sekarang, kedua benda itu tidak hanya muncul di kampus. Status langka dan endemiknya dicabut karena sore ini turut menampakkan diri di tempat latihan karate. Sepulang latihan, setangkai bunga terjepit di ujung sweeper mobilnya, diselipi secarik kertas merah muda dengan tulisan tangan merangkai puisi. Meski sekilas, sebelum dibuat ronyok dan dimakan, kedua mata nanar Danti yakin bahwa tulisan jelek itu berasal dari orang yang sama yang telah mengirim puisi tadi siang.

Lemparan keempat berakhir gagal. Danti berbalik.

"Ibu Eldien pernah punya pengagum rahasia?" Danti frustasi. Via tidak dapat diandalkan dalam masalah ini. Gadis itu terlalu lurus. Ia mendapatkan kekasih tanpa embel-embel "dikuntit" saat PDKT. Semuanya berjalan normal. Mungkin, Eldien bisa membantu?

"Maksudmu?" Orang yang ia harapkan justru melongo. Eldien tidak mengerti dengan pertanyaan yang baru saja ia lontar.

Dapat balasan seperti itu, Danti kontan memelas. Bagaimana mungkin wanita tipikal kembang kampus semasa kuliah yang tengah berdiri di hadapannya itu tidak mengerti ucapannya barusan? Danti pun bersiap untuk memberi sedikit petunjuk tentang masalah yang ia hadapi. Namun, pada detik terakhir, kata-kata yang meluncur dari bibirnya justru, "Ah..., sudahlah. Aku mau mandi."

Danti melintas begitu saja. Ia mengambil tas yang tertinggal di mobil. Selebihnya, gadis itu menghilang memasuki rumah.

Tersisa Eldien. Sadar bagaimana penampilannya saat ini, ia pun celingak-celinguk.

"Tetangga ada yang lihat tidak, ya?"

VIA Bagian PertamaWhere stories live. Discover now