13 - gemas

8 0 0
                                    

"Baiklah, kuterima...."

Alwi membatu. Dadanya sesak, seakan-akan dihimpit isi dunia. Terlebih, ketika jemari sang dosen akhirnya menarik lembut kumpulan mawar yang ia genggam.

Wiwid turut syok. Kepalanya pusing. Dengan mata yang berkunang-kunang, ia tersandar di tiang koridor. Kacamata bulatnya ia lepas, ikatan rambutnya ia gerai.

Mawar-mawar itu kini berpindah di dekapan Mita. Tak seperti mawar-mawar sebelumnya, yang akan ia bagi-bagikan gratis. Kini, kumpulan beberapa tangkai bunga uluran Alwi, sepertinya akan ia simpan baik-baik.

Bibir Mita menggores senyum. Tampak tulus dan anggun. Namun bagi Alwi, justru sungguh menyayat perasaannya. Dan sembari hanya tersenyum, Mita kembali mengayun langkah. Ditelantarkannya Alwi bersama tabuh-tabuh gendang perasaan hancur yang semakin keras.

Mita dan Danti akhirnya semakin jauh. Sementara Alwi, masih serupa patung batu. Wiwid menghampirinya dengan langkah yang terasa gegar. Disentuhnya pelan pundak Alwi. Namun, pemuda itu terus bergeming. Wiwid pun hanya bisa menunduk tanda turut berduka. Ia lalu berputar hendak beranjak.

Genggaman tangan tiba-tiba mengurungkan niatnya. Wiwid menoleh. Kedua tangan Alwi tidak lagi mengacung. Keduanya telah berlabuh, dan salah satunya kini menggenggam hangat pergelangan Wiwid.

Mata Alwi yang semula kosong mulai pendar berkaca-kaca. Keduanya sontak saling rangkul dan terisak.


***


Antara Wiwid dan Alwi sebenarnya bukan tetangga jauh. Semenjak Alwi berkuliah di universitas yang sama dengan Wiwid – Universitas Swasta Pontianak – Alwi mengontrak salah satu rumah kepunyaan orang tua Wiwid. Setidaknya, ada sepuluh rumah yang posisinya dalam satu kompleks tanah milik Juragan Darsono, ayah Wiwid. Salah satunya yang terdekat, bersebelahan rumah, adalah yang dikontrak oleh Alwi. Bahkan, jendela kamar mereka saling berhadapan.

Wiwid sempat protes kepada sang ayah, takut aktivitasnya bisa dimata-matai oleh Alwi.

"Dia, kan, cowok, Pak. Wiwid risih. Lebih-lebih menurut statistik, 80 persen laki-laki itu hidung belang, mata keranjang, dan tidak bisa dipercaya." Wiwid menyerang ayahnya seusai makan malam, dengan bukti empiris asal comot di internet.

"Halah, kamu itu!" cengkok Jawa sang ayah terdengar kental. "Belum berkenalan sudah berkata jelek. Anaknya baik. Selain bapakmu ini, dia pasti masuk kategori yang sisa 20 persen. Tidak hidung belang, tidak mata keranjang, dan dapat dipercaya."

"Paling-paling cuma luarnya saja...!" Bibir Wiwid sudah serupa bibir ikan mas koki.

"Halalalah!"

Wiwid mendelik. Ayahnya tiba-tiba meluncurkan ajian pamungkas saat berdebat. Jika diteruskan, ayahnya bisa berubah menjadi pelempar apa saja. Apa saja yang ada di dekatnya.

"Pokoknya, Bapak ndak suka kamu ngomong begitu! Titik! Kamu harus terima. Lagi pula, kamu sendiri yang minta rumah di depan jendela kamarmu itu secepatnya dikontrak orang, bukan dihuni hantu."

Wiwid hanya bisa menunduk, sembari matanya mencuri lihat. Bapaknya sedang duduk di kursi rotan, di depannya ada meja, di atasnya ada segelas kopi. Bapaknya sudah menyalakan lampu kuning tadi. Kalau ia menyahut, bisa jadi benda-benda yang baru saja ia lihat akan terbang ke arahnya.

Lagi pula, apa yang dikatakan ayahnya itu sedikit ada yang benar. Rumah di depan jendela kamarnya itu menyimpan cerita tragis. Seorang mahasiswi yang mengontraknya empat tahun lalu ditemukan tewas gantung diri. Dan setelahnya, cerita seram mulai beredar.

VIA Bagian PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang