04 - ragu

9 0 0
                                    

Pintu itu bertuliskan "Staff Only". Ruang di sebaliknya adalah dapur, toilet khusus bagi pegawai kafe, serta sebuah ruangan serbaguna 5 x 3 meter. Kadang, ruangan serbaguna itu menjadi tempat tidur bagi karyawan yang kelelahan, kadang pula menjadi tempat adu gosip, ruang ibadah, bahkan gudang.

Via yang notabene harus berjaga di dekat meja kasir, hampir lima belas menit lalu justru memasuki ruangan tersebut. Katanya, ia pamit untuk pergi salat. Begitu melihatnya keluar, rekan kerjanya yang tengah asyik mengisi TTS sembari menunggu pelanggan datang membayar, cepat-cepat melompat dari kursinya.

Gadis bertubuh mungil itu rupa-rupanya hanya ingin berbisik, "Cowok yang kemarin datang lagi!"

"Yang kemarin?" Via mengernyit. "Yang kemarin yang mana?"

"Itu, Kak. Yang tiap tiga hari sekali pasti ke sini. Kalau ke sini, nyari-nyari Kakak. Itu, di Meja 8."

Via tolah-toleh. Ditemukannya sebuah meja di dekat jendela. Hanya di tempat itulah yang diisi oleh satu orang. Sementara meja-meja yang lain, paling tidak diisi tiga atau empat pengunjung. Sebagian besar muda-mudi yang saling asyik bercengkerama.

Berhubung pemuda itu hanya seorang diri, maka ia lebih asyik memutar-mutar sedotan di dalam gelas jus apel yang masih penuh.

"Oh...," ujar Via begitu mengenali wajah pemuda tersebut. Anak Fisipol itu ternyata muncul di hari yang tak terduga. Biasanya tiga hari sekali, tetapi malam ini ia sudah muncul padahal baru kemarin malam ia mencari-cari Via.

"Kok, cuma 'oh'? Samperin, Kak! Dia lagi-lagi nyari Kakak, tuh!"

Via menggeleng-geleng. Di dalam hati, ia bersungut, "Anak Fisipol, jurusan Ilmu Komunikasi, tetapi tidak dapat menyampaikan pesannya sendiri dengan benar. Dasar mahasiswa tidak berguna!"

Oleh karena ketidakbergunaannya itulah, pemuda yang baru dikenal Via beberapa minggu belakangan tersebut, dan selalu mencari-cari dirinya jika bertandang ke kafe, secara teratur menemui Via di tempat kerjanya setiap tiga hari sekali.

Pada dasarnya, ia datang karena ada masalah. Masalahnya sendiri sangatlah sederhana. Pemuda itu jatuh hati pada seorang gadis. Karena tidak berpengalaman mendekati seorang gadis pun, maka dirinya memilih Via untuk memberikan informasi serta saran.

Meski dadanya mengomel, Via melangkah juga menuju meja nomor delapan. Sekalian ia ingin bertanya, mengapa pemuda itu tiba-tiba malam ini kembali muncul? Padahal, baru kemarin malam mereka berbincang. Adakah sesuatu sehingga jadwalnya berubah?

Melihat Via mendekat, pemuda itu menyambut dengan menyunggingkan senyum. Via terpaksa membalas dengan wajah yang ramah. Tidak mungkin baginya, di depan pengunjung yang masih ramai, ia memasang raut muka berkerut-kerut seperti belum gajian.

"Selamat malam, Kakak Senior!" Pemuda itu berdiri. Disambutnya Via penuh hormat, bagai seorang bawahan menemui atasan tempat ia bekerja.

"Jangan terlalu formal," sahut Via. Barulah ia berani mengecutkan wajah. Pura-puranya, ia sedang jengkel.

"Duduk saja dulu, Kakak Senior! Duduk dulu!" Dipintanya Via menempati kursi di sisi meja yang berseberangan. Via menurut tanpa embel-embel.

"Oke, ada apa tiba-tiba malam ini kau mencariku?" Via pun bertanya setelah pemuda itu kembali duduk.

Ngomong-ngomong, namanya adalah Alwi. Meski dari fakultas berbeda, ia kadang menyapa Via dengan sebutan "Kakak Senior". Sedikit membuat telinga Via terasa gatal. Sudah berkali-kali dilarang, tetap saja dipakai.

Pemuda itu justru membulatkan bibir. Tampak berpikir sejenak, mungkin juga kaget karena Via bertanya demikian. Setelahnya, ia justru cengengesan. "Maaf kalau-kalau kedatanganku malam ini mengganggu Kakak. Seperti biasa, aku kemari untuk minta bantuan. Tentang...."

VIA Bagian PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang