08 - takut

6 0 0
                                    

Via terduduk di atas tempat tidur. Sebuah tarikan dan embusan napas agak panjang ia rasa perlu untuk sedikit melapangkan isi dada yang penuh sesak. Ia juga sempat mengguyur tubuhnya dengan air dingin setengah jam lalu, walaupun di luar pada saat yang sama tengah turun hujan yang cukup deras.

Namun, mendung yang menyingkir dari hatinya hanya sedikit. Suhu tubuhnya pun dirasa kembali naik beberapa derajat. Via yakin dirinya tidak terserang demam karena ulahnya bermandikan air dingin di tengah malam buta. Ia telah hafal. Jika kemampuannya muncul tanpa disengaja seperti malam ini, maka tubuhnya akan terasa panas seolah terbakar hingga berjam-jam. Ditambah lagi, ia masih mengingat apa yang baru saja ia lakukan pada pemuda-pemuda itu.

Saat masih mengatur napas, getar ponsel mendadak terdengar. Bergegas Via menarik ponselnya dari atas meja kecil di samping tempat tidur. Danti menelepon. Tumben jam segini?

"Ada apa, Danti?" sambut Via. Khawatir.

"Kau belum tidur?"

Tak perlu dijawab. Danti pasti tahu.

"Aku sekarang ada di rumah sakit," lanjut Danti.

"Di rumah sakit?" Via jelas kaget. "Kau kenapa? Di rumah sakit mana?"

"Aku tidak apa-apa. Aku di Sultan Syarief. Tapi, tadi juga sempat singgah ke Antonius dan Soedarso."

"Tidak apa-apa, tapi kenapa sampai keliling rumah sakit? Malam-malam begini. Hujan-hujan lagi. Kau tidak pulang? Jangan bikin aku khawatir!" cecar Via. Napasnya mulai sesak.

Terdengar Danti tertawa. Pelan. "Iya, maaf. Maaf. Aku cari kabar soal orang-orang yang baru saja kau beri itu," jelasnya kemudian.

"Kau... apa? Bagaimana kondisi mereka?"

"Kabar baik. Semua yang luka parah sudah lewat masa kritis."

Via mendesah. "Syukurlah...."

"Sudah kubilang, kan? Orang-orang seperti mereka itu biasanya kontraknya panjang."

"Iya, iya."

"Kalau begitu, kau harus siap-siap beberapa bulan lagi akan bertemu mereka."

"Danti, perasaanku masih kacau karena kejadian malam ini. Kau sudah mengingatkanku kejadian yang belum kejadian?"

"Ya, kita, kan, teman. Sudah seharusnya teman mengingatkan, kan?"

"Terima kasih."

"Kalau kau bertemu mereka lagi, jangan sungkan lempar ke Sungai Kapuas."

"Kalau aku ingat. Terima kasih sarannya."

"Bagus, bagus. Sekarang, sudah bisa tidur, kan?"

Via kembali mendesah. Ia mengambil bantal dan memeluknya. "Sepertinya akan nyenyak."

"Kalau begitu, segera tidur."

Senyap beberapa saat.

"Via...?"

"Danti...."

"Apa?"

"Terima kasih, ya?"

"Kenapa tiba-tiba?"

"Mmmuach!"

"Ih, gelik! Aku masih suka cowok, ya!"

Via tertawa. Danti tertawa. Namun, Danti lekas menutup mulutnya. Ia masih di rumah sakit.

"Aku mau pulang dulu. Tidur yang nyenyak, ya?"

"Iyaaa!"

"Muach!"

VIA Bagian PertamaWhere stories live. Discover now