17 - palsu

10 0 0
                                    

Usai merem-melek dikerjai jus jeruk, Mita masih ingin bereksperimen. Sedotan jus jeruk ia pindah ke gelas jus apel. Lalu, ia mulai menyicip isinya beberapa isapan.

Saat isapan ketiga, arah matanya naik untuk melihat di mana Alwi sekarang. Apakah masih dua-duaan bersama teman Danti, atau malah kabur dari tanggung jawab? Tak disangka, Alwi sudah ada di depannya. Duduk di tempat semula.

"O-oh?" Mita kaget. Segera ia menjauhkan bibir dari sedotan. "Maaf," ucapnya lalu berdehem.

"Tidak apa-apa, Bu. Tidak apa-apa. Kan, itu Ibu yang pesan," balas Alwi dengan sesekali agak menunduk. Bagaimana pun rupa dan tingkah wanita di depannya itu, beliau adalah dosen.

Mita malah terkikik. "Iya juga, ya?"

Akan tetapi, Mita tidak lanjut mencicipi minuman yang ia pesan untuk Alwi tersebut. Ia membetulkan duduknya, menghela napas beberapa kali, kemudian menatap Alwi sembari tersenyum.

"Jadi, Alwi...," ucapnya kemudian membuat pemuda di hadapannya menegakkan punggung.

"Iya, Bu!" jawabnya mantap.

"Kau pasti sudah tahu alasan kita bertemu malam ini."

Alwi mengangguk. "Ibu memanggil saya kemari karena soal kemarin, kan?"

"Iya, ini soal kemarin. Tidak keberatan?"

"Tidak, Bu. Sama sekali tidak," sambut Alwi. "Justru, saya juga ingin membicarakan hal yang sama dengan Ibu."

"Baguslah," komentar Mita. "Nah, sebagai orang yang menyebabkan kejadian itu, pasti ada yang ingin kau sampaikan."

Walau Mita hanya tersenyum, Alwi merasa akan diomeli. Cepat-cepat ia menunduk. Tak berani adu pandang. "Maaf, Bu. Itu salah saya. Bunga itu seharusnya untuk...."

"Danti, kan?" potong Mita.

"Eh?" Alwi lekas mengangkat wajah.

"Aku sudah tahu. Bunga itu sebenarnya untuk Danti," jelas Mita. "Tapi, karena satu dan lain hal, kau malah menyodorkannya padaku."

Alwi tercekat. "Dari mana Ibu tahu? Aku tak pernah cerita bunga itu untuk siapa, kecuali...."

Mita tertawa kecil.

"Bedebah...!" umpat Alwi di dalam hati. Di benaknya, berkelebat wajah Wiwid.

***

"Hatchieh!"

Suara bersin seorang perempuan terdengar di dalam kamar yang gelap. Setelah bersin itu hilang, sayup-sayup menggema isakan tangis.

***

"Meskipun aku tahu cerita yang sesungguhnya, tetapi tidak dengan orang-orang. Yang orang-orang tahu, kau itu bertindak nekat menyatakan cinta padaku. Dan, aku menerimanya."

"Di situlah letak permasalahannya, Bu. Orang-orang jadi menganggap kita punya hubungan istimewa. Saya ingin, persoalan ini segera diluruskan, sehingga tidak ada lagi yang salah paham."

"Bagaimana kalau aku tidak mau?"

Alwi mengerutkan dahi. "Maksud Ibu?"

"Aku ingin orang-orang tetap menganggap kita seperti itu."

"Ibu mau orang-orang tetap menganggap kita pacaran?" Alwi harap kesimpulannya tidak benar. Akan tetapi, fakta di lapangan berkata lain.

Mita menjawab, "Iya."

"Ibu tidak serius, kan?"

"Aku serius."

"Ibu bercanda, kan?"

VIA Bagian PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang