07 - cemas

9 0 0
                                    

"Jadi, kau mengeluarkannya lagi?" Danti menyetirkan Via pulang. Suara sahabatnya yang tersendat-sendat di ujung telepon memberi inisiatif baginya untuk memacu mobil secepat mungkin. Hanya perlu lima belas menit, dan ia pun kini sudah membawa Via pergi menuju rumah.

Via yang ia jemput, terus berwajah cemas. Dadanya masih menyimpan getar. Sudah melewati Tugu Digulis, ia tetap saja diam seraya meremas jemari di kedua tangannya yang mendingin bagai es. Saat dijumpai di depan Ahmad Yani Mega Mall pun, gadis itu tak banyak menyahut. Ia tak memberikan waktu bagi mobil Danti berdiam sejenak. Melihat kedatangan Danti, langsung saja ia menyambar pintu depan dan masuk.

Gelagat yang kaku, mendadak bungkam. Danti mengenal ciri-ciri itu.

"Kau menghajar preman-preman itu lagi? Kau apakan mereka sekarang? Kalau aku punya telekinesis sepertimu, akan aku lempar mereka ke Sungai Kapuas. Biar kapok! Kurang ajar sekali mereka suka mengganggumu!"

Dua tahun berteman, Danti hanya melihat sedikit sekali hal baik dari kemampuan menggerakkan benda-benda dari jauh milik gadis yang duduk bungkam di sebelahnya itu. Setidaknya, ia pernah tiga kali melihat Via "meledak" akibat ulah gerombolan pemuda yang sama. Salah satunya, masih tercatat jelas di ingatan Danti karena terjadi di awal-awal perjumpaan.

Seperti malam ini, dua tahun lalu pun Via sudah terbiasa pulang larut malam seorang diri. Begitu pula pemuda-pemuda yang mengganggunya telah memulai kebiasaan buruk menenggak miras. Merasa sesama perempuan, serta dikaruniai jiwa tomboi, Danti menghentikan mobil dan turun berniat membantu Via. Sayangnya, ia salah perhitungan. Ia tak melihat enam pemuda lain yang berada di balik tembok, tengah bermain gaplek. Hanya tiga yang ia lihat menggodai Via. Begitu Danti ikut campur, keenam sisanya bangkit menyusul.

Posisi pun berpindah. Via menarik Danti untuk kembali ke mobil. Namun, kesembilan laki-laki yang ia hadapi sudah terlanjur terpancing. Ketika Danti diseret mundur, mereka malah kian maju. Melihat itu, Danti ikut-ikutan pasang badan. Mendorong-dorong para pemuda itu serta mengompor-ngompori siap berkelahi.

"Kalian pikir aku takut, ha? Tadak takot aku same kitak yang muke macam taik, tuh!"

Via terpaksa menjadi penengah. Ia dorong kedua pihak saling menjauh. Namun, dirinya sendiri juga menjadi incaran. Via pun terdesak. Tiba-tiba saja, ia berteriak meminta mereka mundur seraya mendorong dada salah satu di antara mereka. Bersamaan dengan itu, kaca-kaca mobil Danti berhamburan. Pemuda yang ia dorong terhuyung mundur, begitu pun rekan-rekan di belakangnya maupun Danti nyaris terjengkang walau tak tersentuh.

Pemuda-pemuda itu kebingungan.

"Punye tenaga dalam die, wak! Tenaga dalam!"

Mereka lalu bertanya apakah salah satu di antara mereka punya ilmu yang sebanding. Atau setidaknya, punya ilmu kebal. Karena semuanya menggeleng, pemuda-pemuda itu pun lebih memilih mundur.

Via berdiri mematung dengan napas turun naik. Tatapan matanya bagai orang kebingungan disertai cemas. Setelah Danti menyapa, barulah ia menoleh. Namun, hanya sebentar. Via keburu ngeloyor pergi dengan wajah tertunduk. Danti sempat mendengar bahwa gadis itu meminta maaf.

"Hei! Kau mau ke mana?" Danti mengejar. Via makin cepat melangkah. "Kau pergi begitu saja setelah merusak kaca mobilku?" Danti belum sadar bahwa Via memiliki telekinesis. Yang ia yakin, sama seperti pemuda-pemuda mabuk itu, Via menguasai olah tenaga dalam.

Via berhenti dan berputar. Diamatinya kondisi mobil Danti dari jauh. Parah. Semua kaca jendela hancur, begitu pun kaca lampu depan. Apabila ditotal, kerusakannya mungkin sudah mencapai jutaan rupiah. Terbersit angka sedemikian besar, membuat Via buru-buru merogoh tas selempang miliknya. Ia mengeluarkan ponsel, kartu SIM dan memorinya dicabut. Setelah Danti berdiri tepat di hadapannya, ponsel itu pun ia unjukkan.

VIA Bagian PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang