12 - konyol

8 0 0
                                    

"Maaf, Kak. Waktu itu, aku hanya sempat menelepon. Aku sibuk pindahan."

"Mengapa tidak pindah ke rumah kami?"

"Ya, kan, tak enak dengan suami Kakak. Aku juga sudah terlanjur beli rumah."

"Kalau begitu, sesekali main ke rumahku. Supaya Danti ada teman." Eldien melirik Danti. Didapatinya gadis itu terus memandang Mita.

"Siaaap! Oh iya, Kak. Sedari tadi kita ngobrol, Kakak belum kenalkan gadis manis bermata tajam di samping Kakak itu."

Danti pun manyun. Mita tersenyum.

"Putri Kakak, ya?" lanjut Mita.

"Oh, iya. Namanya Danti. Putri suamiku."

"Putri Kakak juga, kan?"

Eldien tersenyum tipis. Di hadapannya, tangan Mita dan Danti berjabat erat. Di saat yang sama, ponsel yang ia genggang bergetar.

"Oke, aku pamit dulu," sela Eldien kemudian. "Jemputanku sudah datang. Aku harus ke kantor. Yang akrab, ya!" Ditepuk-tepuknya pundak Mita. Dikecupnya pipi Danti.

Danti membelalak. Saat kepalanya berputar, Eldien sudah menjauh. "Ibu Eldien!" jeritnya. Eldien balas melambai sembari tersenyum.

Kini, Danti tolah-toleh dengan wajah cemas. Kalau-kalau jadi tontonan mahasiswa lain. Lalu, tak sengaja ujung matanya membentur Mita. Ia salah tingkah. Ditambah lagi, Mita kemudian tersenyum.

"Ada yang lucu? Rambutku? Wajahku? Ada yang lucu?" Danti merasai ujung bibirnya. Tidak ada yang lengket-lengket. Sebelum ke kampus, ia memang sempat makan roti selai kacang. Tetapi, ia yakin sudah membasuh mulut dengan bersih.

Mita tertawa kecil. "Tidak...," jawabnya.

"Lalu?"

"Danti," ucap Mita kemudian. "Di keluargaku, aku ini anak bungsu. Aku tidak punya adik. Anggap saja aku ini kakakmu, ya?"

"Ha?" Danti tercengang. "Hari ini ada apa, sih? Tadi pagi, Bu Eldien juga bilang begitu. Bu Eldien pernah bilang, dia enam bersaudara. Semuanya perempuan. Semua-semuanya tingkahnya begini?"

Giliran Mita bertampang bingung. "Tingkah yang bagaimana?"

"Suka sekali mengusili orang."

"Kalau begitu, kita bisa cocok. Kata Kakak, kau juga suka iseng sama orang."

"Ih, mana ada!"

Lagi, Mita tersenyum. Entah mengapa, Danti merasa diejek oleh senyuman itu. Senyuman manis yang telah membuat para dosen lajang di kampus ini terkena panah kasmaran.

***

Ternyata, tak mudah berurusan dengan Wiwid. Setelah mulut mahasiswi itu terbuka, sangat sulit ditutup kembali. Bahkan, setelah disumpal sedotan teh botol.

"Kau yakin akan memberikan bunga itu?" Wiwid benar-benar tak bisa diam. Pertanyaannya menyembur usai menyeruput sogokan, hingga tersisa setengah.

Alwi mengerem langkah dan menghela kencang. Bunga mawar pemberian Mita kini dibalut plastik bening.

"Semakin kau bertanya, semakin aku gugup. Bisa diam tidak?" Alwi benar-benar merasa jantungnya bagai samsak para petinju. "Aku sudah memberimu hadiah penutup mulut!" ingatnya lagi.

"Ini?" Wiwid mengangkat tangan kanannya, tergenggam satu teh botol. Isinya tinggal seperempat. "Mana cukup untuk menyumpal mulutku. Yang lain, dong. Burger?"

"Lagi pula, mengapa masih mengikutiku? Urusan kita, kan, sudah beres!"

Wiwid tersenyum licik. "Megingat apa yang telah kuperbuat pada bungamu itu, bukankah seharusnya aku yang berkata demikian?" Dan, ia mengubah raut wajahnya lagi. Senyumannya hilang, berganti serius dengan tarikan alis mata yang tegas. "Lagi pula, siapa tahu aku akan dapat jajan gratis jika terus bersamamu." Alis matanya lagi-lagi turun-naik.

VIA Bagian PertamaWhere stories live. Discover now