15 - risih

6 0 0
                                    

Sebuah nada mengalun dari dalam tas mungil milik Wiwid. Ada seseorang yang menghubungi ponselnya, dan ia harus segera menerima panggilan itu. Alwi dipinta segera berhenti.

"Asalamualaikum...," sambut Wiwid setelah memencet tombol hijau dan mendekatkan ponsel di depan telinga. "Alwi? Oh, ada. Dia sekarang bersama Wiwid. Siap, Bu. Akan Wiwid sampaikan."

Ponsel ditutup. Wiwid mengembalikan ponsel ke dalam tas.

"Siapa?" tanya Alwi. Ia curiga karena namanya disebut-sebut.

"Siapa lagi kalau bukan... ehem! Ehem!" Wiwid pura-pura batuk.

"Nggak ada alasan sakit!" Pergelangan Wiwid kembali ia genggam. "Ayo, kita ke ruang dosen!"

Wiwid mendesah. "Percuma, Alwi! Bu Mita tidak ada di ruang dosen. Beliau sudah pulang!"

Alwi tak jadi menyeret Wiwid. "Jangan bohong!"

"Bu Mita sendiri yang barusan bilang. Ada urusan, jadi pulang cepat. Atau, kau mau bicara langsung dengan Bu Mita lewat telepon? Aku sambungin, nih!"

"Eh, eh?" Alwi mengangat telunjuk. "No, no!" Telunjuknya digoyang-goyang. "Aku lebih suka bicara langsung. Lebih door to door!"

Wiwid menepuk jidat. "To the point, bahlul!"

"Kalau begitu, besok! Bilang Bu Mita besok kita ketemuan!"

"Ogah!" Wiwid menolak. "Bu Mita ingin bertemu denganmu malam ini. Jam delapan malam, di Mirna Cafe 'n Resto."

Alwi berpikir sejenak. "Ya, sudah. Kita berangkat jam tujuh. Jangan lupa makan dulu dan izin sama bapakmu."

"Ibu Mita ingin kau datang sendiri."

Alwi diam sesaat. "Mana bisa begitu!" ujarnya kemudian.

"Bu Mita maunya begitu," balas Wiwid. Alwi manyun. "Datang sendiri apa susahnya, sih? Aku sering melihatmu keluar malam. Sendiri. Masak cuma untuk ketemu Bu Mita tidak bisa? Cuma ketemu cewek, loh. Bukan ketemu bos mafia."

Alwi kembali diam. Kali ini, wajahnya sedikit menunduk dengan ujung mata memaku lantai. Raut wajahnya menandakan otak di dalam tempurung kepalanya sedang bekerja keras. Entah benar-benar kerja atau pura-pura kerja. Yang mana saja boleh, Wiwid tak mau tahu.

Karena Alwi hanya diam, Wiwid pun menegur, "Eh, Alwi...!" Pemuda itu pelan menoleh. "Ini kesempatanmu untuk cari tahu, apakah Bu Mita serius atau hanya main-main. Jadi, pergi dan temui beliau. Bu Mita pasti punya alasan sendiri yang mungkin hanya enak dibicarakan antara kalian berdua."

Alwi masih bungkam. Entah sedang merenungi wejangan Wiwid, atau malah sibuk memikirkan cara berkelit.

"Aku permisi...." Wiwid pelan-pelan melangkah mundur. Tetapi ketika telah siap untuk berlari sekencang-kencangnya, akal jahat hinggap di kepalanya, hingga ia bergegas mendekati kembali Alwi yang masih membatu.

"Ingat, Alwi. Apabila Bu Mita serius, itu adalah anugerah sekaligus musibah. Anugerah karena wanita seperti beliau adalah wanita ideal yang sulit dicari. Sementara musibah, karena kudengar dari beberapa sumber, banyak pria yang mengincar Bu Mita. Aku berharap, kau harus hati-hati."

Wiwid merogoh tas, menarik kunci sepeda motor yang dibandul tiga boneka beruang. Salah satunya dicopot dan diletakkan di genggaman Alwi.

"Ketiga beruang milikku ini melambangkan kesehatan, kesejahteraan, dan keamanan. Karena kita bersahabat, aku rela meminjamkan keamananku padamu. Jaga baik-baik. Aku permisi dulu. Ada kuliah lain yang harus kuikuti."

Pelan-pelan Wiwid menyeret kaki, lalu akhirnya berlari menahan tawa.

***

Siang itu adalah siang terakhir kali ia melihat wajah Alwi di kampus. Selebihnya, hingga pulang ke rumah nyaris pukul empat sore, mereka sama sekali tidak berjumpa. Seandainya pun berjumpa, Wiwid akan dengan sigap memasang langkah seribu.

Kira-kira, hampir pukul enam sore Alwi baru pulang. Ia masih setia mengikuti kegiatan yang dijalani oleh Danti, seperti basket dan karate. Namun berdasar info dari seorang teman yang Wiwid hubungi via ponsel, Alwi tidak bersemangat seperti biasanya. Wiwid terpaksa menelepon temannya itu untuk memastikan bahwa Alwi terlambat pulang bukan karena kabur. Jika Alwi kabur dan tidak menemui Mita malam ini, maka proyek bernilai ratusan ribu rupiah akan kabur juga.

Usai menelepon temannya, masih sempat pula Wiwid mengomel, "Dasar cowok jadul! Ponsel saja tidak punya!"

Dengan setia, Wiwid mengintai di ruang tamu hingga pukul setengah delapan malam. Dari balik tirai jendela, ia bisa pastikan bahwa pemuda sumber uang jajannya itu keluar rumah seperti rencana. Tampilannya rapi, sudah pasti bukan untuk kabur karena tidak membawa koper besar.

Segera, ia mengirim pesan kepada Mita bahwa target sedang OTW.

Karena ulah Wiwid menunggui jendela hingga lupa mandi dan makan, sang ibu jadi risih dan mengadu pada sang bapak. Pak Darsono itu jarang di rumah, lebih sering di kebunnya yang berhektare-hektare. Ada kebun sawit, kelapa, duren, langsat, dan rambutan.

"Bapak, anak kita sepulang kuliah jadi aneh," adu sang ibu, sembari menyodorkan secangkir kopi panas nan pahit di meja makan.

"Aneh bagaimana?"

"Itu, dari tadi ngintip terus dari balik jendela ruang tamu. Sampai-sampai, makan pun di situ. Kalau tak diingatkan, pasti dia juga lupa makan."

"Kenapa, ya, Bu? Apa Wiwid berhenti kuliah saja, ya?" Pak Darsono mulai mengesap kopi. "Jangan sampai seperti sepupunya itu. Hari ini mungkin dia cuma menunggui jendela, tapi besok pulangnya bonyok-bonyok."

"Hus! Si Boim itu tawuran. Dari SD, kan, memang suka berantem. Kalau cuma kuliah, tak bikin bonyok. Ibu rasa, Wiwid sudah mulai suka sama laki-laki."

"Alhamdulillah, anak kita normal. Tapi, Ibu, kok, bisa tahu? Anak laki-lakinya tadi mampir ke rumah? Wiwid diantar pulang sama dia?"

"Nggak. Wiwid dari tadi mengintip rumah di samping kita ini. Rumah itu, kan, dikontrak sama laki-laki. Ibu juga sempat lihat, Wiwid senyum-senyum waktu tahu Alwi sudah pulang."

"Yang benar saja, Bu? Dengan Alwi?" Si bapak batal menempelkan cangkir di bibir. Kalau tak sedang menikmati kopi, mungkin ia sudah menggebrak meja. "Tidak boleh itu!" lanjutnya. "Wiwid rencananya Bapak jodohkan dengan anaknya Sukeb."

"Bapak mau menjodohkan Wiwid?"

"Nanti saja kita bahas. Bapak mau bicara dulu dengan anak kita itu."

Sementara di serambi, senyum Wiwid masih merekah bagai bunga mekar di pagi hari. Asyik tersenyum, ponsel miliknya tiba-tiba mengikik. Tadi siang, ia mengunduh nada dering tertawa Mak Lampir. Begitu selesai, langsung ia pasang hingga sekarang.

"Iya, Bu. Siap, Bu. Alwi baru turun. Baru saja melintas di depan rumahku. Kemungkinan setengah jam lagi akan tiba di lokasi."

Ponsel ditutup. Saking senangnya misi intelijen berjalan lancar, ia melompat tinggi nyaris menyeruduk plafon. "I love you, Alwi!" pekiknya sembari melempar kecupan jarak jauh.

"Ehem!"

Wiwid menoleh. "Bapak?"

VIA Bagian PertamaWhere stories live. Discover now