02 - galau

8 0 0
                                    

"Hari ini memang..., memang..., aaaaargh!"

Danti meremas setir mobil sekeras-kerasnya. Bahkan, ia ingin sekali menggigit serta membenturkan kepalanya pada roda kemudi jika tak ingat itu akan membuatnya celaka di jalan raya. Ia sangat ingin menggambarkan bahwa hari ini adalah hari yang sangat buruk di antara hari yang paling buruk. Namun, dirinya tak menemukan kata-kata buruk yang paling tepat.

"Anjing" terlalu mainstream.

Via yang tengah mengetik pesan di kursi sebelah sampai terlonjak dan menoleh. Sesaat kemudian, ia menggeleng-geleng. Danti yang telah ia kenal semenjak berkuliah di Universitas Swasta Pontianak itu sepertinya tidak dapat melepas kenangan pahit di hari ini. Saking menempelnya di ingatan, hingga meresap ke sumsum tulang belakang.

Dan, lihatlah! Matanya sampai menyipit, bibirnya maju, dan gurat-gurat kasar seolah berkumpul di tengah alis dan batang hidung Danti. Sungguh pemandangan yang membuat mata Via perih, seolah-olah ada yang sedang mengiris bawang merah.

"Aku sudah tidak tahan, Via! Aku harus tahu siapa orang itu! Dia sudah keterlaluan!" Danti merasa ubun-ubunnya nyaris mengepulkan asap. Via memintanya untuk menarik napas lalu diembuskan pelan-pelan, sebelum nantinya terlambat malah menghentikan napas mereka dengan menabraki kendaraan lain.

"Dia cuma kirim puisi, kan?" cuap Via setelah Danti mulai fokus pada jalan raya.

"Cuma?" seruduk Danti lekas-lekas. "Yang begitu itu cuma?"

Bibir Via membulat.

"Gara-gara dia, hidupku jadi tak tenang! Ke mana-mana seolah diawasi. Kemarin-kemarin, mungkin dia cuma kirim bunga dan kado. Hari ini, ditambah puisi. Besok, mungkin dia akan kirim lamaran. Kalau aku tolak, aku akan diculik atau disantet. Ini tipe-tipe psikopat! Psikopat, Via! Psikopaaaaat!"

Via merenung sedetik, lalu menyahut, "Lalu, kau mau apa?"

Ucapan itu segera Danti balas dengan sedikit menyeringai. "Begitu aku tahu siapa orangnya, akan kupastikan batang leher orang itu tak lagi utuh!" Sebelah tangan Danti mengepal.

Via menyandar. Dipandanginya wajah purut Danti yang lebih parah ketimbang minggu kemarin. Matanya menyorot iba pada Danti, sementara bibirnya malah menggores senyum. Ia sadar betapa jengkelnya gadis yang tengah mengemudi dengan bibir sedikit maju itu terhadap orang yang ia sebut misterius nan iseng.

Sosok yang masih belum diketahui bentuk dan namanya itu tiba-tiba hadir di kehidupan Danti beberapa bulan lalu dalam bentuk sekotak cokelat yang dibungkus rapi oleh kertas kado. Di atasnya, setangkai mawar merah tergolek masih segar. Isi kado memang bukan cokelat mahal impor dari luar negeri, melainkan cokelat industri kuliner rumah tangga dari daerah Pemangkat, Kabupaten Sambas. Serasa dikaruniai durian rubuh, Danti merasa harus tahu siapa pengirim paket tersebut.

Namun, mereka sepertinya belum berjodoh untuk bertemu. Danti tidak pernah berhasil melacak si pembawa paket. Hingga akhirnya, kiriman bunga yang kedua kembali muncul. Kali ini, disertai gantungan kunci berbandul penguin. Bentuknya sama persis seperti gantungan kunci miliknya yang telah lama hilang. Andai tampilannya tidak mencerminkan barang baru, Danti sudah pasti menyangka sang pengirimlah yang dulu mencuri gantungan kunci kesayangannya tersebut.

"Aku bersedia menjadi penguin untuk selalu di dekatmu." Menggantung secarik kertas warna merah muda pada gantungan kunci itu.

Orang baik, pikir Danti. Namun, ia tidak tahu seberapa baiknya orang itu hingga bisa melihatnya secara langsung.

Minggu ketiga, bunga yang ketiga. Tetap tidak bisa ditemukan. Minggu keempat, bunga keempat. Kondisi masih tidak berubah. Hingga minggu kelima, bunga kelima. Sebuah bola basket muncul di dekat pintu mobilnya di pelataran parkir kampus. Lagi-lagi, ada secarik kertas di sana.

VIA Bagian PertamaWhere stories live. Discover now