11 - bodoh

10 0 0
                                    

Tiga jam lalu, setangkai mawar merah tergeletak tenang di atas meja kerja Mita. Satu jam kemudian, sebuah vas bertengger di dekat bunga itu. Dan kini, ketika Mita kembali dari ruang kelas menyampaikan materi kuliah, mejanya yang rapi telah berubah bagai taman kota.

"Aku rasa, aku dapat meja yang salah. Mejaku sepertinya masih bagian Taman Alun-Alun Kapuas."

Komentar pelan Mita ternyata didengar dosen wanita lain. Ia duduk di kursi yang agak jauh, tetapi masih bersebelahan. "Kau tidak salah dapat meja," tegurnya. "Yang salah itu dirimu sendiri."

"Aku...?" Mita bertampang bingung.

"Di universitas ini, ada sekitar dua puluh dosen pria yang masih lajang. Beginilah jadinya jika ada dosen wanita lajang lainnya yang cukup bening."

Mita menghela. Ia malah lunglai di depan warna-warni kelopak bunga.

"Bunga-bunga ini harus aku apakan?"

"Buang saja," komentar rekannya yang sebaya itu. Ia kembali menghadap laptop dan mulai mengetik.

"Dibuang?" Keberadaan bunga-bunga itu malah membuat Mita tidak sanggup duduk di kursi. Ia masih berdiri di depan meja kerjanya.

"Jangan memberi harapan jika kau memang tidak suka. Jadi, buang saja."

"Jika nanti aku diculik, bagaimana?"

Ucapan Mita membuat sang rekan berhenti mengetik. Ia terbatuk-batuk, lalu cepat menyambar segelas teh hangat yang sudah ada di atas meja. "Jadi orang, kok, polos banget? Setidaknya, mereka orang terpelajar, Mita. Meski masalah hati akan membutakan mereka, kemungkinannya sangat kecil. Nol koma nol nol nol noooool satu persen."

Mita memutar sekeliling. Hanya ada beberapa dosen di meja mereka masing-masing. Mereka pun sepertinya tidak ingin ambil peduli, tampak sibuk dengan pekerjaan mereka, persis seperti rekannya itu yang bernama Yasmin Melati, M.I.Kom. Dosen wanita di sebelahnya itu sekarang malah memasuki halaman depan situs jejaring Facebook, lalu membuka grup "Dikatakan Benar juga Tidak Salah".

Mita menghela, kemudian merangkul bunga-bunga itu.

***

"Jadi, nama bibiku itu Rimita Rivani?" Danti membimbing Eldien menyusuri koridor. Ibu tirinya langsung menodong untuk diantar ke ruang dosen begitu keluar dari mobil.

"Dan ingat, nama panggilannya itu Mita, bukan Rimi. Ia benci dipanggil begitu. Entah kenapa."

"Tapi, aku sangsi. Siapa tahu Bibi tidak ada di kampus sekarang."

Eldien berhenti. Danti menyusul.

"Benar juga. Lalu, harus bagaimana?"

"Ibu Eldien bilang, Bibi pernah menelepon. Mengapa tidak ditelepon saja?"

"Benar juga...!" Eldien merogoh tas kecil yang ia sandang. Sebuah ponsel ia ambil. Jemarinya mengetuk layar, lalu mulai menggulir mencari-cari sesuatu. "Bodoh sekali tidak kutelepon dari tadi," ratapnya kemudian.

Danti menggeleng-geleng. Seandainya Eldien belum menjadi ibu tirinya, mungkin sudah ia ledek habis-habisan.

***

Sekitar dua tikungan lorong dari mereka, seorang wanita terlihat ramah membagi-bagikan banyak tangkai bunga. Mita merasa sayang untuk membuang bunga-bunga itu. Mereka masih terlihat segar. Dari pada masuk ke tong sampah, lebih baik jatuh ke tangan para mahasiswa. Hitung-hitung, sebagai salah satu metode pendekatan.

Sementara bertingkah beberapa puluh meter, ada Wiwid yang melangkah tersendat-sendat. Sesekali ia berputar ke belakang, untuk memastikan kondisi wajah Alwi yang sedari tadi menjadi ekor. Tahu bahwa semua bunga yang ada di toko sekitar kampus diborong entah oleh siapa, menjadikan Alwi jengkel setengah mati. Bunga terakhir yang ia miliki telah rusak gara-gara diseruduk Wiwid di halaman parkir.

VIA Bagian PertamaWhere stories live. Discover now