05 - pahit

8 0 0
                                    

"Ayahmu tadi telepon. Malam ini tidak pulang. Ada pertemuan di luar kota." Eldien menghampiri Danti yang tengah asyik dengan ponselnya di teras belakang rumah. Ia muncul membawa nampan berisi dua cangkir kosong, seteko kopi panas, dan sepiring biskuit.

"Malam-malam begini?" Danti meletakkan ponsel. Ia sambut cangkir dan piring biskuit dari Eldien. Melihat semua bawaan itu, pantas saja ia ditinggal sendiri hampir separuh jam di teras. Ternyata, Eldien punya agenda lain selain mengecek kompor di dapur.

Saat itu, Eldien sedang patroli memeriksa pintu dan jendela sebelum berangkat tidur. Ia pun memergoki Danti menyendiri di teras belakang rumah terlihat asyik membalasi pesan di ponsel. Kesempatan langka pikirnya. Lalu, ia pun nimbrung sebelum akhirnya ingat belum menginspeksi dapur.

"Mungkin, dengan klien yang sangat penting," terka Eldien sembari menuang kopi. Danti sempat mencegah—biar ia sendiri saja. Tetapi, kenapa harus sungkan? Sudah terlanjur juga Eldien memegang teko.

Danti mengalah. Ia biarkan ibu barunya itu menuang kopi.

"Semoga bukan KPK, ya?" Eldien kemudian tertawa kecil. Saat menelepon, suaminya tidak menyinggung secara detail siapa yang ingin ia jumpai. Dari perusahaan mana, untuk keperluan apa. Ia hanya memberi tahu tiba-tiba salah satu klien meminta bertemu di luar kota. Jika bukan urusan tingkat pelik, ia mungkin tidak akan menerima begitu saja permintaan tak beragenda tersebut.

"Dengan-dengar, dinas yang dulu pernah jadi klien ayahmu sekarang sedang ada masalah," tambah Eldien lagi. Kedua cangkir sudah penuh. Teko diletak di meja.

Bukannya ikut tertawa atau sekadar senyum, Danti malah memajukan bibir. "Aku bakal kabur dari rumah kalau Ayah ikut-ikutan korupsi."

"Aduh?" Eldien akhirnya sadar. Gurauannya salah pilih bahan. Sembari menarik kursi untuk duduk, segera ia berucap, "Jangan, dong! Jangan kabur. Ayahmu tak akan begitu." Eldien memang tertawa, tetapi merasa tak enak.

Usai berlabuh di kursi, Eldien menyeka tepi wajahnya dengan lengan tangan. Rambut-rambut di tepi wajahnya basah oleh uap air dan keringat. Ia sebenarnya tidak perlu repot andai sang asisten rumah tangga tidak pulang kampung karena urusan keluarga. Tapi, toh..., sebelum menikah, pekerjaan kecil seperti ini sudah tidak asing ia lakukan ketika teman-teman kerjanya bertandang di rumah yang ia kontrak.

Lengannya yang basah kini ia seka dengan serbet yang sengaja ia selipkan di pinggang. Tingkahnya itu membuat Danti tak berkedip.

"Ayo, diminum," tawar Eldien. Dilihatnya Danti hanya tercenung usai semua yang ia bawa tertatak di atas meja. Selain karena tingkahnya tadi, Danti juga masih menyimpan sungkan. Terlebih, ia tahu bahwa Eldien mau repot-repot membuatkannya kopi. Seandainya Eldien memberi tahu akan ke dapur, tidak disuruh pun ia akan membantu.

Namun, lidahnya masih kelu untuk sedikit mengucapkan terima kasih. Jadi, ia hanya diam, lalu menarik cangkir kopinya. Ia rasai sedikit. Tapi dengan cepat, bibirnya menjauhi cangkir. Tak lupa ditambahi aksi batuk-batuk.

"Kenapa? Panas?" Eldien terlihat kaget atas reaksi Danti. Kopinya memang diseduh dari air yang baru saja mendidih.

"Tidak...!" Danti menggeleng-geleng dengan suara serak. Ia terbatuk-batuk. "Kopinya... pahit. Kurang gula."

"Oh.... Aku pikir, yang biasa kau minum malam-malam itu kopi yang pahit. Kau tim kopi pakai gula, ya?"

Wajah Danti berkerut, persis jeruk purut.

"Aku ambil gula dulu." Eldien bersiap meninggalkan kursi.

"Tidak!" tahan Danti. Ia sudah merasa tak enak—tidak enak hati maupun tidak enak lidah—karena telah dibuatkan kopi. Jadi, ia tidak ingin bertambah tak nyaman jika harus ibu barunya dibuat repot hanya untuk mengambil gula. "Tidak usah. Biar saja. Mungkin, aku bisa lebih begadang. Setelah merasainya, aku agak merasa segar." Memang benar. Kelopak matanya seolah ditarik begitu pekat kopi menusuk pangkal lidahnya.

"Besok kau tidak kuliah?"

"Masuk siang," jawab Danti. Ia sedikit menyimpan gundah akan jawaban tersebut. Apabila AC di kelas belum diperbaiki, maka ia harus rela untuk sekali lagi bagai lontong yang dikukus. Ruangan kelas yang tertutup, dengan daya tampung hanya dua puluh orang, tetapi diisi hampir dua kali lipatnya, menjadikan kelas Manajemen B tempat yang sungguh-sungguh sempurna untuk "mematangkan" para mahasiswa. Karena masalah itu jugalah, ponsel Danti semenjak sore sudah dihujani notifikasi pesan dari rekan-rekan sekelas, meminta partisipasinya untuk memboikot kuliah besok siang.

Eldien manggut-manggut. Ia menikmati kopinya dua isapan, lalu mengingat kejadian beberapa jam lalu, ketika Danti dengan wajah kaku bermain basket.

"Oh iya, soal tadi sore. Maksudmu apa, ya, soal pengagum rahasia itu? Kau punya pengagum rahasia?"

Danti menyetop bibirnya meniup permukaan kopi yang masih mengepul. Ia lirik Eldien beberapa detik, lalu menjawab, "Mm..., bukan. Bukan urusan penting. Cuma orang iseng."

"Orang iseng?" Alis sebelah mata Eldien melentik. Ia siap mengorek.

Danti merasa telah bicara terlalu banyak. Bergegas ia mengatupkan mulut dan menggeleng-geleng.

"Kau dibuntuti seorang pemuda, ya? Pengagum rahasia yang kau bicarakan tadi sore?" pancing Eldien. Alis matanya kian jadi meliuk-liuk.

"Bukan, bukan aku!" Danti menyahut panik. "Tapi, temanku. Dia selalu diikuti oleh orang yang memberinya bunga dan puisi." Di dalam hati, ia berdoa semoga tidak jadi anak durhaka karena membohongi ibu tirinya.

Meski malam ini terasa lebih cair ketimbang waktu-waktu yang lain, Danti masih belum yakin untuk mengumbar rahasia pribadi kepada Eldien. Ditambah pula, setelah tinggal bersama kurang lebih lima bulan, baru kali ini mereka duduk satu meja. Danti masih memegang teguh tradisi yang disebut "jual mahal".

"Oh..., temanmu?" Eldien masih memainkan alis dengan nakal. Ia coba menghilangkan tembok yang selama ini membuat Danti seolah menjauh. "Kalau begitu, kau harus ingatkan temanmu untuk hati-hati. Orang seperti itu biasanya nekat."

"Nekat? Tuh, kan?" gumam Danti seolah mengiyakan ucapannya tadi siang ketika mengantar Via. Ini ulah psikopat yang mampu melakukan apa saja agar ambisinya tercapai. Hari ini ia mengirim puisi dan bunga, besok mungkin mengirim lamaran. Jika tidak diterima, dirinya mungkin akan diculik.

"Tidak!" Danti tiba-tiba menggebrak meja dan berdiri.

Eldien mendelik kaget. Disaksikannya Danti menggigit bibir serta mengepal keras. Lalu mendadak, gadis itu menyeringai dengan kepala mengangguk-angguk. Eldien mengernyit.

Ibu tirinya itu tidak tahu bahwa Danti kini sudah dapat pencerahan. Jalan pikirannya seolah terbuka usai disengat pahitnya kopi. Ia pun ingat. Bukankah dua bulan ini ia latihan karate? Dengan modal itu, ia seharusnya tidak perlu khawatir lagi oleh ulah si orang iseng. Pedemeter Danti pun naik drastis seketika.

Asyik menyeringai, Danti tiba-tiba memegang perut. Wajahnya kembeli berkerut.

"Ada apa?" tanya Eldien.

"Aku kebelet. Aku pipis dulu!" Danti melesat.

Namun, belum tiga langkah menjauhi meja, ponsel yang ia tinggalkan tiba-tiba bergetar panjang. Eldien menaikkan leher untuk mengintip. Sekilas sebelum ponsel ditarik, ia melihat nama seseorang.

"Via?" Danti lekas menerima sang penelepon. "Ada apa? Kau tidak dijemput Andre? Oke. Tapi, kau sekarang ada di mana? Iya. Iya. Aku ke sana!"

Hubungan diputus. Danti menoleh Eldien.

"Sepertinya, acara kita harus disambung lain kali. Temanku perlu bantuan."

Eldien diam sejenak, lalu mengangguk pelan dan menyahut, "Nggak jadi pipis?"

VIA Bagian PertamaWhere stories live. Discover now