09 - cukup

5 0 0
                                    

Suara khas lenting bola basket kembali terdengar dari pekarangan rumah. Akan tetapi, ini baru setengah enam pagi dan terlalu awal dari hari-hari sebelumnya. Lagi pula, orang yang selalu bermain di pekarangan rumah saat ini masih terbuai di sisi tempat tidur. Sepulang mengantarkan Via dan dari rumah sakit, Danti kesulitan untuk memejamkan mata. Ia sendiri bingung, apakah itu efek dari kopi pahit buatan Eldien, atau karena mengetahui Via yang sedang dalam kondisi buruk?

Yang mana sajalah!

Danti pun mencoba untuk tidak terkatung-katung di tempat tidur dengan wajah melongo menunggu kantuk. Maka, diambilnya beberapa buku tentang teori ekonomi. Sengaja ia pilih bab-bab yang penuh tabel dan rumus. Sehingga setelah satu jam membaca, ia pun tergolek tak sadarkan diri. Saking pulasnya, ia tak sadar telah berbaring di bibir ranjang, dengan tubuh bergulung selimut persis kue dadar.

Begitu tubuhnya berputar, tanpa penghalang sedikit pun Danti meluncur jatuh menghempas ubin. Buku-buku tebal yang sempat ia baca ikut terseret dan mendarat tepat di atas tubuhnya. Bagaikan disiram seember air, Danti tergopoh-gopoh membuka mata. Ia terduduk dengan wajah kaget seakan telah mengalami mimpi yang nahas.

Perlu waktu kurang lebih lima detik bagi sistem saraf di kepala gadis energetik itu untuk kembali online. Begitu kesadaran yang ia miliki berangsur pulih, sayup-sayup gendang telinganya menangkap fibrasi yang cukup familier.

"Basket? Siapa yang main basket?" Danti membuka mulutnya lebar-lebar untuk menguap, sebelum akhirnya bangkit berdiri.

Sedikit banyak, ia belum mampu lepas dari cengkeraman kantuk yang masih menggelayut. Kelopak matanya terasa berat, sehingga langkah-langkah yang mengayun diseret bagai orang kelaparan. Namun, karena didorong oleh rasa penasaran yang begitu kuat, Danti akhirnya menyibak tirai dan mendorong pintu di balkon agar terbuka.

Sosok tubuh dibalut atasan ketat tanpa lengan dan celana training panjang, terlihat mahir beratraksi dengan bola. Drible-nya mengagumkan, bahkan sesekali ia terlihat bagai memutar bola dunia di ujung jarinya, kemudian disusul tembakan dua angka dengan sangat mulus.

"Siapa itu?" Danti menjeling dengan kelopak mata yang masih lengket. Perlu dikucek beberapa kali untuk mampu melihat lebih jernih.

Baru kali ini Danti menjumpai ada wanita lain dengan tubuh langsing dan atletis sedemikian di lingkungan rumah ini. Bisa dibilang, setara dengan dirinya yang sudah tergolong aktif berolahraga. Apakah mungkin wanita yang tengah asyik bermain bola basket di sana adalah saudara tirinya? Atau jangan-jangan, wanita itu adalah saudaranya saudara tetangga?

Ah, nekat sekali kalau memang benar saudaranya saudara tetangga. Untuk saudara tiri, juga tidak masuk akal. Dari mana Ibu Eldien punya anak? Sebelum menikah, status wanita itu adalah lajang yang dapat dipertanggungjawabkan.

Suatu ketika, wanita di pekarangan mendongak. Hampir saja Danti menebak bahwa ia adalah anak gadis Bi Ijah, pembantunya yang sedang cuti. Jika bukan karena senyum itu, senyum khas dari lesung pipi ibu barunya. Eldien benar-benar membelalakkan kelopak kedua mata Danti.

Masih dengan pakaian tidur, ia menyusuri anak tangga. Karena bagai diburu hantu, nyaris ia terguling-guling hingga ke lantai ketika kakinya sedikit melintir di sebuah anak tangga. Sesampai di muka rumah, napasnya pun berlomba turun naik.

"Pagi, Danti," sapa Eldien sembari melempar bola ke keranjang. Masuk dengan mulus.

"Pagi...." Danti mencoba mengatur irama napasnya yang setengah-setengah. Begitu agak mendingan, baru ia berujar, "Aku pikir siapa pagi-pagi main bola basket."

"Kamu pikir siapa?" Eldien tersenyum lagi.

"Ng...." Danti tolah-toleh. "Anak tetangga? Saudara tiri?"

VIA Bagian PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang